76.

295 15 0
                                    

RSUD Sleman yang menjadi tempat Sivan mempertaruhkan hidup terpaksa Evan datangi lagi. Padahal rumah sakit itu telah ia tandai sebagai salah satu tempat di Yogya yang sangat ingin ia hindari. Evan dan Sivan sama-sama tidak menyukai rumah sakit. Permukaan dinding yang kerap didominasi warna putih nyatanya tak memberikan ketenangan bagi orang-orang yang mengantri. Bau obat menggelisahkan hati tak henti-henti.

Sebanyak tiga dokter bertugas menyelamatkan Sivan di IGD. Termasuk Dokter Karisma, dokter spesialis penyakit dalam yang membantu Sivan operasi pendonoran sumsum tulang belakang. Karena riwayat penyakit sebelumnya, Ia menambah personil untuk berjaga-jaga apabila keadaan berubah tidak terkendali. Sudah tak terhitung berapa kali perawat bergantian menyibak tirai pembatas bilik untuk ikut membantu.

Evan ditenangkan Janu di sudut tirai putih yang membatasi dengan pasien darurat lain. Wajahnya terlihat sangat tegang. Keringat membasahi seluruh permukaan dahinya. Pria itu barusan tidak terima mendapat dorongan dari salah satu perawat. Memintanya minggir sebentar untuk mempersilakan dokter memeriksa keadaan putranya. Evan baru benar-benar menepi karena ditarik Janu dari belakang.

"Sivan pasti bisa melewatinya, Van. Kamu yang tenang." Janu terus berupaya menenangkan sang sahabat. Walau pria itu tahu jika usahanya tak pernah ditanggapi dengan indah. Ia mencoba memahami andai dirinya di posisi Evan dan yang memejam di ranjang pesakitan itu adalah Juno. Pria itu mungkin akan sama hancurnya.

"Aku nggak akan tenang sebelum Sivan membuka mata," tegas Evan. Semua orang di dalam bilik itu bisa mendengar. Termasuk Dokter Karisma yang sampai menengok ke tempatnya dan Janu berdiri.

"Kamu pernah melihat kondisi Sivan yang seperti ini. Aku yakin kamu bisa menghadapi lagi untuk yang kedua kali."

"Bagaimana kalau yang tidak bisa menghadapinya Sivan sendiri?" sambar Evan. Janu yang hendak menjawab menggunakan kalimat-kalimat penenang lain harus mengeratkan lagi jemarinya di pundak Evan.

"Hei! Kenapa kau menampar-nampar pipi anakku!" Emosi Evan meledak melihat dokter muda di sebelah Dokter Karisma yang menggunakan cara yang sedikit kasar untuk mengembalikan kesadaran Sivan. Memancingnya untuk merespon.

"Tenang, Van. Mungkin itu salah satu metode yang dilakukan dokter untuk menyadarkan Sivan." Selesai mengucapkan itu gemuruh dalam dada Evan menurunkan kecepatannya. Matanya menyala menyadari kelopak mata Sivan terbuka. Janu mengurangi kekuatan lengannya mengunci Evan. Tubuh Evan yang sudah bebas dari kungkungan melesat ke depan.

Evan menerobos barisan para dokter. Mereka secara otomatis memberikan Evan ruang. Hal yang pertama Evan lakukan adalah menempelkan dahi di kening sang putra. Merasakan kembali suhu tubuh Sivan. Masih terasa panas dan justru lebih tinggi dari pertama kali ia mengecek suhunya di rumah.

"Sivan. Sivan dengar suara Ayah? Ini Ayah. Ini Ayah, Sivan. Sivan nggak sendirian," ucap Evan sembari memegang kening Sivan. Sivan hanya diam saja. Bola jernihnya tak bergerak beberapa saat. Kekalutan menyergap Evan. Takut Sivan kembali pada saat-saat terburuknya. Janu memandang lantai rumah sakit. Tak tega menyaksikan perjuangan Evan berusaha membangun kesadaran Sivan.

"Sivan, kalau Sivan denger coba panggil ayah. Panggil ayah, Sivan." Bujuk Evan tak mengurangi kekhawatirannya.

"Sivan ...." Evan mulai putus asa karena Sivan masih tak mau menanggapi apa-apa. Hingga satu panggilan sangat lemah tercipta dari bibir pucatnya. Evan mendekatkan telinga untuk mendengarkan.

"Yah ...." Isak Sivan.

"Iya. Ayah di sini." Evan menyibak ponik Sivan berharap bisa mengarahkan pandang kepadanya. Cara itu benar-benar berhasil. Atensi Sivan dari yang semula tersangkut di langit-langit rumah sakit kini mendarat di wajah Evan.

"Ayah ...."

"Sivan nggak bisa napas? Dada Sivan sakit?"

"Pulang. Pulang ... Aku mau pulang ...."

"Sivan di rumah sakit sekarang,"

"Aku nggak apa-apa ... Ayah .... Aku masih bisa bangun ...."

Para dokter dan Janu kompak mengerubungi ranjang Sivan melihat remaja itu mendadak bangun dari tempat tidur. Namun, hanya bertahan beberapa detik tubuh Sivan kembali ambruk. Napasnya terdengar berat. Dahinya berkerut menandakan betapa kesulitannya ia meraup udara. Salah satu dokter memanggil perawat untuk membawakan oksigen.

"Sivan harus di sini dulu sebentar. Ayah janji kalau keadaan Sivan membaik, nanti ayah bawa Sivan pulang."

"Nggak ... nggak ... Nggak!" Kepala Sivan menegak hendak bangun lagi. Dokter laki-laki dengan postur tubuh yang paling tinggi mendekat. Membawa sebuah suntikan yang ia isi dengan cairan obat sebelumnya. Tanpa meminta persetujuan Evan ia meraih lengan kiri Sivan. Tak mengalami kendala karena kondisi anak itu begitu lemas. Jarum suntik sukses menembus kulit lengan Sivan.

"Aaa!" Sivan merasakan nyeri yang mulai menjalar. Menjadi suara terakhirnya sebelum kegelapan menarik paksa. Perawat yang selesai mengatur oksigen memasangkan masker oksigen di mulut dan hidung Sivan. Evan terus mengawasinya.

Dua jam kemudian Sivan dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Dokter Karisma membuka pintu berpapasan dengan Janu yang hendak mengurus semua biaya dan administrasi. Ia melihat dari sana, Evan yang masih tak mengubah posisinya sejak masuk di ruangan itu. Telapak kanan mengelus kepala Sivan. Telapak kirinya menggenggam pergelangan tangan remaja yang masih menutup mata.

"Pak Evan, boleh saya jelaskan di sini saja? Saya yakin Anda tidak akan tega meninggalkan Sivan sendirian."

"Silakan."

"Sivan hanya demam biasa. Bukan karena efek operasinya dan setelah saya periksa tidak ada masalah apa-apa. Jika ia bangun nanti, Sivan boleh langsung pulang. Namun, saya sarankan Anda tetap mengawasinya."

"Apa Sivan masih harus meminum semua semuanya?"

"Saya akan membuatkan resep obat lagi untuk Sivan."

"Baik, terima kasih."

"Demam Sivan kali ini disebabkan karena pikiran, Pak Evan."

"Iya. Saya tahu. Memang sedang banyak hal yang dia pikirkan." Evan telah berusaha keras untuk mengurangi hal-hal yang menganggu pikiran sang putra. Membelikan buku-buku kesukaan Sivan ternyata tidak ada gunanya. Parfum kopi mahal itu pun hanya menambah wangi ruangan saja. Bingkai kecil murah itu yang sempat membuat Sivan bisa mengukir senyum beberapa saat.

"Kalau begitu saya akan berkoordinasi kembali dengan Dokter Retnosari. Saya permisi."

Masker oksigen yang menutupi hidung dan mulut Sivan kini telah digantikan selang pernapasan. Sivan telah sepenuhnya sadar. Ia sempat menolak perawat memasangkannya. Evan masih pada tempatnya. Duduk sambil berkedip beberapa detik memindai tubuh Sivan. Sementara Janu terkantuk-kantuk berjaga di luar ruang rawat.

Punggung tangan terinfus Sivan memegang piring buah apel yang dikupas Evan. Penjagaan ayahnya yang masih ketat menggagalkannya untuk mengambil garpu. Evan merebutnya dari jemari Sivan. Menusuk salah satu potongan apel lantas menyuapinya. Tetapi yang terjadi justru Sivan berhasil merebut garpunya lagi.

Sivan melajukan potongan apel bukan ke mulutnya sendiri. Melainkan kepada sosok manusia di depan, "Buka mulutnya, Ayah."

Tak ada alasan untuk Evan menolak. Ia membuka mulut lebar-lebar. Satu potongan apel pertama hancur di dalam mulut Evan.

"Enak nggak?"

"Sangat enak. Sekarang giliran Sivan." Dengan lembut Evan meminta garpu.

"Ayah."

"Hmm?"

"Sivan kangen Mama."

Evan tak jadi menusuk potongan apel kedua.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang