20.

808 102 9
                                    

Hari-hari tenang sehabis ujian biasa digunakan untuk pendinginan otak. Pergi ke tempat wisata atau kafe hits bersama teman-teman menjadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Duo sabahat, Sivan dan Juno, mempunyai tradisi unik setiap semester untuk membebaskan otak mereka dari kepenatan. Mumpung penerjunan relawan PMR Merapi belum dilaksanakan, Juno mengajak Sivan bertamu ke sebuah rumah pembuatan layang-layang. Letaknya di desa sebelah. Ia ingin mengajari Sivan cara membuat layangan, karena dari dulu yang Juno bisa hanyalah mengajari sang sahabat menerbangkannya.

"Siang, Mas Ibrahim Fathurahman. Bagaimana kabarnya? Sudah berapa buku baru lagi yang diterbitkan? Sudah bisa mengendarai sepeda motor?" Pertanyaan sarkas beranak Juno lempar dengan entengnya. Menghujam tepat di hati Ibra yang beruntung sudah ada tamengnya.

"Berisik!" Ibrahim Fathurahman, kerap dipanggil Mas Ibra oleh yang lebih muda adalah tetangga desa kenalan Juno. Kakeknya mantan pembuat layang-layang terkenal pada zamannya. Beliau berhasil mewariskan keahliannya menciptakan layang-layang kepada Ayah Ibra dan sampai ke generasi Ibra sekarang. Selain tenar karena cucu pembuat layang-layang hebat, Ibra juga mahir di bidang kepenulisan. Agak lain memang. Sejujurnya, ia ingin menjadi penulis saja.

Walau dihujani pertanyaan sarkas setiap kali Juno datang, Ibra tetap melayani tamunya dengan senyum, sapa, dan sopan.

"Cara memotong yang benar seperti ini. Lihat baik-baik, ya." Petuah pemuda seukuran tubuh Juno. Umur pemuda berkulit sawo kematangan itu empat tahun lebih tua darinya. Sehari-hari sibuk berperang batin melawan serangan pertanyaan mendetail seputar rencana apa setelah hari wisuda tiba. Ibra sangat antusias apabila ada manusia membutuhkan keahliannya membuat layang-layang. Karena itu bisa menjeda sementara gemuruh dalam pikirannya.

Zaman sekarang agak susah menemukan manusia sesama penyuka layang-layang. Ibra menjadi mahasiswa langka yang masih suka menerbangkan layang-layang di kampusnya. Dan, Juno menjadi salah satu murid setia yang selalu minta diajari membuat layang-layang tanpa menunggu musim layangan tiba.

"Perhatikan baik-baik, Siv. Ini ilmu langka. Belum tentu didapatkan di sekolah." Juno sok bijak ikut memberi petuah.

Sivan melihat hampa jemari terampil Ibra membelah batang bambu panjang menggunakan pisau tajam. Juno yang sudah khatam semua materi penerbangan layang-layang Ibra memilih mempersiapkan tali senar, agar tak terjadi tragedi layangan putus yang lumayan merugikan. Mereka bertiga berencana pergi ke Bukit Klangon untuk uji coba penerbangan perdana layang-layang buatan Sivan. Tidak seperti dua rekan sehobi yang bersemangat 45, Sivan justru menampilkan wajah kurang berselera.

Penyebab Sivan tak berenergi adalah serangan mimpi buruk yang tak kunjung berhenti. Semua kilas kejadian sebelum tragedi penembakan Sinta sampai detik terakhir ia melihat Evan bergantian mendatangi setiap malam. Sivan mulai tak bisa tidur dengan tenang. Kedua matanya tak pernah memejam nyaman. Ia sering terbangun kala mimpi buruknya mencapai puncak. Semalam, Sivan baru bisa benar-benar tidur pukul tiga. Sekarang, ia berusaha mempertahankan kewarasan demi menghargai Ibra yang serius mengajar.

"Kamu kelihatan lesu banget, Siv?" Bukan Juno namanya jika tidak peka dengan kondisi sahabatnya. Ia mengelap telapak tangannya menggunakan ujung baju. Bersiap menerbangkannya menuju kening basah Sivan. Baru tiga puluh menit mengikuti kelas pembuatan layang-layang Ibra, Sivan sudah berkeringat banyak. Ibra berhenti bersuara sejenak mencoba merangkai penjelasan yang lebih ringkas.

"Kamu nggak sakit, kan, Siv?" Juno berhasil mendaratkan telapaknya di kening Sivan. Hangat tubuh sahabatnya terpantau normal.

"Nggak bisa tidur itu termasuk penyakit bukan, No?"

"Ada, kan, istilahnya. Apa itu namanya aku pernah dengar. Inso ... sono ... mia ...."

"Insomnia!" sahut Ibra.

"Nah, iya. Namanya insomnia," ulang Juno.

"Kamu pasti lagi banyak pikiran, kan. Semua teman kuliahku terkena insomnia gara-bara kebanyakan memikirkan tugas," lanjut Ibra

"Jangan-jangan Mas Ibra hobi tidur karena nggak pernah mikirin tugas kuliah?"

"Sembarangan! Gini-gini aku sembodo, ya. IPK-ku selalu cumlaude, kok. Organisasi juga jalan terus." Hampir saja Ibra menjitak tempurung Juno.

"Siapa pelajar zaman sekarang yang nggak banyak pikiran, sih, Mas?" Sivan menimpali.

"Aku." Juno menunjuk hidungnya sendiri menggunakan bambu yang dipotong kecil. "Mau cerita di sini atau nanti?" Tiba-tiba Juno memegang pundak Sivan. Ia kerap melakukan itu ketika sadar sahabatnya banyak pikiran. Dari tadi Sivan tak mau menatap matanya. Ia menunduk dalam. Itu pertanda ada banyak hal sedang mengepung pikiran Sivan.

"Nanti aja. Aku kangen main layang-layang," jawabnya.

"Nah, gitu, dong. Kalau sedang bersenang-senang tinggalkan dulu semua beban yang bikin susah. Biar semuanya terasa lega."

Sivan tersenyum sendu lantas melanjutkan mendengarkan materi-materi layangan dari mulut komat-kamit Ibra. Kali ini Sivan bisa lebih fokus dan gampang memahami semua instruksi yang Ibra tumpahkan. Dua jam berlalu, sebuah layang-layang sederhana tak terlalu besar berhasil lahir dari kedua tangan Sivan. Juno dan Ibra lantas bertepuk tangan. Bangga dengan mahakarya juniornya.

Berkat bakat Juno menarik ulur senar layang-layang dan kemampuan Ibra menebak asal arah angin. Hanya beberapa menit layangan buatan Sivan terbang membelah langit. Terlalu mendongak dan sinar panas surya membuat sang pencipta layang-layang tak kuat mengendalikan senar. Ia memasrahkan layang-layang buatannya kepada Juno dan Ibra. Kunang-kunang nakal mengerubungi mata Sivan. Hanya remaja itu saja yang bisa melihatnya.

"Haus nggak? Mau aku beliin sesuatu?" tawar Juno mendatangi Sivan yang duduk bersimpuh di atas rerumutan. Ia tidak tega melihat Sivan duduk sendirian di sana.

"Nggak usah. Aku mau lanjut main layang-layang." Sebisa mungkin Sivan terlihat baik-baik saja. Ingat, ia tak pernah suka membagi lukanya kepada siapapun. Tak akan ia biarkan Juno tahu.

"Udah serahin aja semuanya sama Mas Ibra. Lihat, Mas Ibra girang banget, tuh. Pasti dunia perkuliahan sangat keras dan menyita waktu bermainnya."

"Dia nggak punya teman menerbangkan layang-layang selain kita, kan, ya?"

"Iya. Lagian, dia juga suka menulis. Kenapa nggak mencari teman-teman yang sehobi. Sekarang, kan, banyak grup penulis."

"Mungkin Mas Ibra nggak cocok sama karakter dan kepribadian mereka, No. Kamu tau sendiri, kan, seidealis apa Mas Ibra."

"Benar juga. Dasar anak senja." Juno menggeser layar gawainya. Mengarahkannya kepada pinggang Ibra yang tengah asyik meliuk-liuk mengikuti pergerakan senar. Sebelum membidik, Juno pastikan dulu jarak dan mengatur pencahayaan. Gayanya mencari ketepatan sudut seperti tukang foto yang sudah banyak memakan jam terbang. Sivan selalu kagum menyaksikan semangat Juno pada dunia fotografi. Jika sedari kecil Juno diberi kamera sungguhan, mungkin sekarang ia sudah menjadi fotografer muda profesional.

Setiap manusia mempunyai kelemahan. Tidak ada yang sempurna. Sivan mudah menerima pelajaran, tetapi tak kuat melihat darah dan kekerasan. Juno tak pandai menghitung, namun mempunyai bakat memotret. Meskipun ahli membuat layang-layang dan mampu menulis satu novel dalam waktu satu bulan, Ibra tidak bisa mengendari sepeda motor. Semua kelemahan itu ada penyebabnya. Sayangnya, penyebab-penyebab itu tak semuanya menggembirakan. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang