Evan sengaja menaruh mobil jeep di depan pintu gerbang rumah mertuanya. Rompi relawan dilepas dan ditinggal di villa. Tubuhnya terbungkus jaket kulit berwarna hitam pemberian Haris sepuluh tahun yang lalu. Harganya yang tidak murah, ditambah bahan berkualitas, membuat jaket itu awet hingga sekarang. Kaki Evan terbalut celana jeans tebal yang juga berwarna hitam. Semua baju di tubuh Evan menghadirkan penampilannya saat pulang dari Singapura. Keputusan Evan sudah bulat. Ia akan membongkar semuanya.
Ribuan rintik air menerjang mobil jeep. Lama-lama berubah menjadi barisan seperti jarum panjang. Hujan deras meminta Evan segera menghidupkan wiper mobil. Kedua benda panjang itu bergerak ke kiri dan ke kanan secara bersamaan. Waktu tiga jam dihabiskan hanya untuk menunggu. Rumah Kakek tetap sepi tanpa penunggu. Evan menurunkan kaca mobil. Sambil menunggu kepulangan ayah mertua dan putranya, sebuah kenangan menghampirinya.
Setiap liburan kuliah dan tahun baru, Evan sering ke Yogya untuk menginap di rumah berlantai dua itu. Setelah berjuang keras dan berhasil menjadi pahlawan demi mendapatkan Sinta, kedua orangtua Sinta memilih menghabiskan masa tua mereka di rumah kelahiran Nenek di Yogya. Rumah berlantai dua itu dulu sempat kosong bertahun-tahun. Evan memerintah anak buahnya merenovasi rumah itu hingga menjadi seperti sekarang. Demi kenyamanan Kakek dan Nenek, Evan rela melakukan segalanya. Rumah kosong itu menjadi seperti rumah baru dibangun.
Sivan suka berlari di halaman rumah, dikejar Sinta dari belakang membawa satu mangkuk berisi makanan empat sehat lima sempurna. Nenek telaten menyiram tanaman-tanaman kesayangan, namun mata lembutnya lebih fokus mengawasi kaki Sivan. Kakek duduk di teras membaca koran-koran terbaru sambil menikmati wajah ceria Sivan mengejar serangga. Evan duduk di sampingnya, meminum kopi hitam dengan nikmat. Semua itu adalah pemandangan terakhir yang Evan dapatkan di rumah itu sebelum perampok melukai menghancurkan segalanya.
Azan maghrib terdengar menggema di sudut-sudut langit. Kekalutan menjalar dan menyebar di dalam aliran darah tubuh Evan. Semoga Sivan bisa bertahan di rumah sakit. Semoga Sivan bisa melawan ketakutannya. Semoga Nenek berhasil melawan masa kritisnya. Semoga Kakek mau menerima permintaan maafnya dan mengizinkannya memeluk Sivan sekali saja. Hati Evan terus mengulangi doa yang sama.
"Kalau nggak salah di RSUD Sleman, Om. Kakek pernah mengantar Nenek Sivan beberapa kali untuk berobat di sana," jelas Juno keesokan harinya. Sepulang sekolah, Evan sengaja menyuruhnya datang ke villa. Ia akan menerima permintaan maaf Juno dengan beberapa syarat yang harus dilakukannya.
"Kamu tahu alamat rumah sakitnya?" Evan bertanya. Wajahnya kelihatan sekali masih memendam marah. Rasa ketakutan bercampur penyesalan saling beradu di hati Juno. Janu bisa merasakan aura ketikdakyamanan sekaligus ketidakenakan remaja itu. Ia menggaruk punggung Juno, agar bocah itu tidak kehilangan fokus. Jeda panjang tercipta.
"Nama jalannya aku kurang tahu, Om ..."
Evan menukikkan alis, bersiap memaki. Janu memasang badan di samping Juno. Biar bagaimanapun Juno tidak boleh terus-terusan disalahkan.
"Yaelah, Van. Zaman sekarang jarang ada orang tersesat. Alamat rumah sakitnya pasti tertera di internet." Sewot Janu sambil terus menepuk-nepuk punggung Juno.
"Tenang, Om. Aku emang nggak ingat alamatnya, tapi aku hafal jalannya. Aku pernah ikut ibuku menengok tetangga yang sakit di sana. Ayo, Om, kita ke rumah sakit dan menyusul Sivan sekarang." Juno berhasil mengembalikan fokusnya untuk Sivan.
"Aku akan memaafkan kamu jika Sivan dan Ibu mertuaku benar-benar ada di sana."
"Om Ivan bisa pegang kata-kataku."
Mereka berdua menuju rumah sakit tanpa Janu. Janu tidak diam saja menunggu kabar dari mereka. Ia tetap harus melakukan sesuatu untuk berjaga-jaga. Tidak seperti Evan, yang mudah sekali terlena menyangkut dengan orang-orang tercintanya. Janu selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Semenjak Sivan dilarang Kakek melanjutkan kegiatan relawan PMR-nya, Janu menangkap hal itu sebuah pertanda yang membuat mereka harus waspada. Pria itu juga mengancam ingin mengakhiri tugas relawan MG di lapangan.
Satu botol infus memberikan Sivan kekuatan melihat keadaan Nenek. Dua puluh menit kemudian, tubuh Sivan kembali lemas dan ambruk. Kamar inap Anggrek, tempat Nenek berjuang melawan masa kritis empat kali lebih luas dibandingkan kamar inap biasa. Kakek meminta petugas rumah sakit memasukan satu ranjang tambahan untuk Sivan. Setiap dua puluh menit sekali, ia harus berbaring di sana. Kakek membawa kursi duduk di tengah-tengah, agar bisa mengawai Nenek dan Sivan bersamaan.
Suara keributan di luar ruangan, membawa tubuh Kakek meninggalkan kamar. Sepuluh meter di samping kanan kamar inap Anggrek, terjadi keributan. Seorang pasien melawan perawat dan dua pria. Terlihat dari raut wajah yang kurang simetris dan jari-jari tangan beraneka ukuran, pasien itu membutuhkan penanganan khusus. Di samping kanan kursi roda pasien, satu pria dan pemuda bertubuh hampir sama tinggi membantu perawat menenangkannya. Perawat meninggalkan mereka sebentar mencari bantuan.
Juno membantu mempertahankan tiang infus yang terancam roboh di belakang kursi roda. Sementara Evan menahan lengan pasien yang terus memukul tubuhnya sendiri. Jari-jari beraneka ragam pasien itu hampir merobek selang infus yang tertancap pada punggung tangan kecilnya. Evan menelan ludah. Nurani terdalamnya tidak ikhlas. Waktunya untuk menemui sang putra terenggut sementara. Kaki dan tengan Evan bergerak otomatis melihat perawat itu diamuk pasien.
Kaki kurus seperti tulang menendang perut Evan. Ia membungkuk menahan sakit dan kedua lengan pasien itu terlepas. Bergerak-gerak ribut seperti kerasukan setan. Memukul semua yang ada di sekitarnya. Masih membungkuk, Evan berusaha mendapatkan kembali kedua lengan pasien berkebutuhan khusus. Tangan kanan dengan mudah Evan kunci. Namun, ia melupakan tangan kiri. Tangan kiri pasien terayun beringas menuju wajah Evan. Masker hitam Evan terlihat menarik di matanya. Ia harus merebutnya.
Pasien itu merampas masker Evan hanya dengan satu tarikan. Masker hitam Evan terlepas. Terlempar cukup tinggi di udara. Terlontar beberapa meter ke belakang punggung Evan dan mendarat di tengah-tengah lantai lorong. Perawat wanita yang tadi diamuk kembali datang membawa satu dokter dan dua perawat tambahan. Juno bisa melepaskan kedua telepak tangannya di tiang infus. Tubuh Evan ambruk di lantai kelelahan. Tenaganya terkuras banyak demi menyelamatkan pasien berkebutuhan khusus yang bertenaga kuat. Ia melupakan masker hitamnya.
"Om Evan .... " Juno memanggil Evan lirih. Memandang horor ke depan. Ekspresi bocah itu seperti baru saja melihat sekelebat hantu menakutkan. Evan mendongak sebentar melihat wajah memucat Juno. Ia lantas meraba dagu. Merasakan sesuatu yang selalu ia pakai menghilang dari sana. Evan berdiri perlahan dengan perut yang masih menyisakan rasa nyeri dan membalik tubuh tingginya. Tak lama, ia menyusul Juno memandang horor ke depan.
Kakek memungut masker hitam Evan. Merematnya menggunakan telapak tangan kanan. Ia menegak di tengah-tengah lorong menatap Evan dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...