"Gunung Merapi kembali mengalami aktivitas kegempaan yang cukup tinggi. Berdasarkan data pengamatan, para ahli vulkanologi memutuskan untuk menaikkan status Gunung Merapi menjadi siaga. Masyarakat diminta ...." Pria berkaos hitam tanpa lengan baju mematikan televisi begitu saja. Wajahnya kelihatan mengantuk. Seperti beberapa detik lagi pria itu akan kehilangan dunianya. Namun, mendadak kedua mata mengantuknya terbuka dengan seram. Seorang pria lain, mengenakan kaos hitam polos, menyuruhnya menghidupkan televisi kembali.
"Hidupkan lagi TV-nya!" umpat pria berkaos hitam dengan kedua alis menukik tajam.
"Oke, Bos," jawab Beton, pria berkasos tanpa lengan baju. Suara pembawa acara kembali menguasai.
"Beberapa kelompok rentan, seperti lansia, anak-anak, penyandang disabilitas, dan ibu hamil akan segera diungsikan. Untuk mengetahui informasi lebih lanjut, kita sudah terhubung dengan wartawan kami ...." Kali ini pria berkaos hitam itu sendiri yang mematikan televisi.
"Bos ini kenapa, sih? Tadi disuruh hidupin lagi, sekarang dimatiin. Lagi bad mood, Bos?" Keluh pria berotot yang duduk di samping Beton, namanya Joe. Ia masih menatap heran wajah sang bos.
"Ton, mulai hari ini suruh Feri mengumpulkan berita tentang Gunung Merapi. Aku mau dia memberikan perkembangan beritanya kepadaku setiap hari."
"Siap, Bos. Laksanakan! Ada lagi tidak, Bos?"
"Tolong panggil Janu sekarang. Suruh dia datang ke restoran ayahku. Aku ingin membicarakan ...," ucapan sang bos mendadak terpotong. Seseorang bernama Janu tiba-tiba datang sambil mendobrak pintu.
"Van! Gunung Merapi siaga!!!" teriak Janu membabi buta. Evan hanya memandang malas ke arah teman sejak kecilnya. Lalu, ia fokus memeriksa kembali akun twitter. Di sana sedang trending berita dengan hashtag status siaga Gunung Merapi. Mata Evan membara. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Mungkin Evan adalah salah satu manusia langka yang sangat mensyukuri dan bersorak bahagia dengan kenaikkan status Gunung Merapi. Ia sudah menunggu-nunggu datangnya hari ini. Hari di mana ia akan datang lagi ke kota tempat Gunung Merapi berada. Untuk kembali menemui dan memperjuangkan sosok yang disayanginya.
Restoran Ayah Evan terpantau ramai seperti biasanya. Dan seperti biasanya juga, Evan memilih lantai atas untuk berbicara dua mata dengan Janu. Janu adalah tangan kanan Evan. Dia keluar masuk di keluarga Evan sejak SMP. Awalnya Janu disuruh Ayah Evan untuk menjadi teman dekat Evan, karena tidak ada yang mau bermain dengannya. Ayah Evan seorang pengusaha yang terkadang berurusan dengan para pebisnis gelap. Bisa dikatakan seperti mafia.
Janu bertugas merangkap menjadi apa saja. Ia sengaja ditempatkan satu SMA dengan Evan, mendapatkan pelatihan bela diri ekstra ketat bersama Evan, hingga sama-sama lulus kuliah berpredikat cumlaude bersama Evan. Kini mereka berdua bekerja sama untuk meneruskan beberapa usaha yang Ayah Evan bangun. Dan, tentu saja misi-misi berbahaya berhubungan dengan dunia bisnis gelap.
Ayah Evan sendiri bernama Hendra Mahaputra. Beliau sudah beberapa tahun pensiun sebagai pemimpin perusahaan. Namun, sesekali masih membantu para putranya. Memberikan nasihat-nasihat berdasarkan pengalaman hidupnya. Hendra mempunyai lima putra dan tujuh cucu. Evan adalah putra nomor empat yang menyumbangkan satu cucu laki-laki untuk Hendra.
"Aku sudah menghubungi salah satu anggota relawan perusahaan kita dan beberapa organisasi relawan lain untuk bekerja sama. Selanjutnya, aku akan mencari vila yang paling dekat dengan rumah mertuamu untuk tempat kita tinggal nanti selama kita menjadi relawan," info Janu.
"Bagus. Urusan biaya akan aku persiapkan." Evan menjawab tanpa melihat wajah Janu. Ia masih sibuk men-scroll berita tentang Gunung Merapi di twitter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...