51.

267 22 0
                                    



Sivan tumbang beberapa kali di depan pusara Nenek. Selama pemuka agama menyelesaikan doa, ia mengiringinya dengan menangis. Juno ditemani ibu angkatnya menyangga kedua sisi tubuh cucu Haris. Ketika doa ditutup dengan melantunkan amin berjamaah, Sivan merosot ke tanah. Ia mengusap-usap gundukan tanah penuh taburan bunga di depannya. Tidak pernah terbayang harus melihat malaikat cantiknya terkubur selamanya. Kakek pulang diantar ayah angkat Juno. Mereka akan kembali lagi ke pemakaman membawa kursi roda.

"Sivan ... jangan menangis. Kamu nggak khawatir sama Nenek di sana? Ikhlasin Nenek. Nenek nggak akan bisa pergi dengan bahagia kalau terus menerus kamu tangisin." Juno berbisik lirih di telinga Sivan. Walau ucapannya tak akan bisa menembus hati Sivan. Hati dan pikiran Sivan porak poranda. Membutuhkan waktu lama untuk kembali tertata.

"Nenek pergi gara-gara aku, No. Aku nggak nurut sama ucapan Kakek. Harusnya waktu itu aku nggak pergi dari rumah. Aku belum sempat minta maaf lagi ke Nenek. Nenek pergi tanpa bilang apa-apa ...."

"Nenek pasti nggak suka kamu ngomong kayak gitu."

"No ... Aku jahat banget, ya ... Aku emang anak yang nggak baik ...."

"Nggak! Kata siapa! Kamu anak baik-baik. Sivan! Kamu adik angkatku yang paling baik. Kamu nggak jahat dan kamu nggak salah apa-apa. Semua ini terjadi karena sudah takdir dari Tuhan!" elak Juno.

"Kak ...." Sivan melirihkan suaranya. Rasa pening kembali mencabut paksa kesadarannya. Sivan kesulitan menyeimbangkan tubuhnya. Tubuhnya rubuh ke kanan.

"Siv? Sivan? Sivan!" Juno kebingungan, kepala Sivan bersandar lemas di bahunya. Ibu angkat Juno mendekat cepat memeriksa kondisi Sivan. Semuanya tampak baik-baik saja, kecuali wajah putih dan bibir Sivan yang mulai kehilangan rona. Juno beralih mendekap tubuh adik angkatnya, menyangga kepala Sivan menggunakan lengannya. Ibu melanjutkan menyentuh kening Sivan. Sengatan panas membuat wajah Ibu Juno ikut memucat.

"Sivan udah nggak sadar, No ...." lirih Ibu, masih mengelus kening Sivan.

"Aku tahu, Bu." Juno berusaha menyamankan tubuh Sivan. Ia menangkup kedua kaki kurusnya menjadi satu. Menggunakan bagian bawah lekukan lutut untuk mengangkatnya. Juno membopong Sivan menuju mobil Kakek yang telah berhenti lagi di depan area pemakaman. Kursi roda Sivan di dalam mobil tidak jadi digunakan.

Kegempaan Gunung Merapi berangsur-angsur menurun. Itu merupakan pertanda baik. Jalan-jalan tidak didominasi kendaraan beroda empat. Pengendara sepeda motor sudah berani berkendara tanpa menggunakan mantol tebal. Tetap mematuhi protokol, setengah wajah mereka tertutup masker kesehatan. Abu Merapi sangat berbahaya jika terhirup. Dampaknya tidak bisa langsung dirasakan. Namun, menjadi bom waktu yang akan merusak paru-paru seseorang secara perlahan dalam jangka waktu lama.

Para pengungsi enggan mengecek keadaan rumah. Aktivitas Gunung Merapi belum turun ke level normal. Badan pengawas gunung menetapkan status baru, waspada, karena asap cukup tebal masih menampakkan diri di puncak Gunung Merapi. Semalam hujan turun. Membersihkan sisa-sisa abu di jalanan, pohon-pohon, dan genteng rumah penduduk. Pagi ini Gunung Merapi terlihat jernih di balkon lantai dua rumah Kakek.

Tiga hari ini Sivan memiliki kegiatan baru. Melihat tubuh hijau Gunung Merapi yang sedang mengeluarkan asap solfatara dari balkon lantai dua rumahnya. Ia tidak sendirian. Selalu ada Juno di sampingnya. Semenjak Nenek meninggal, Juno diminta Kakek untuk menemani sekaligus menghibur Sivan. Juno pun disumpah agar tidak menceritakan apa pun tentang perkelahiannya bersama Evan di rumah sakit.

Untuk merayakan keberhasilan mereka naik kelas, Juno memberikan informasi seputar mapel kelas dua belas yang sengaja ia beri bumbu-bumbu lucu. Untuk pertama kali, Sivan tidak tertarik info-info sekolah. Merespon suara Juno saja tidak. Tak pernah menyerah, Juno terus mengajak Sivan berbicara. Dari berita terkini sampai jokes-jokes lucu yang pernah ia dapat dari Janu. Semua ia kerahkan dan keluarkan.

Lelah mengajak Sivan bicara, Juno beralih mengupas buah semangka. Membelahnya menjadi beberapa potongan segitiga kecil. Sivan mengusir pandangan ke kiri ketika Juno memberikan satu segitiga semangka di samping terlinganya.

"Jangan melihat Gunung Merapi terus. Nanti dia kegeeran," ucap Juno sembari menaik turunkan potongan segitiga semangka di samping kepala Sivan. Sivan menahan mengeluarkan suara.

"Yakin nggak mau semangkanya? Masih segar, lho. Fresh dari toko buah," Juno membujuk lucu. Memaju-majukan mulut. Kepala Sivan tidak kunjung menghadap ke depan.

"Ya udah kalau mau tetap pura-pura. Buat aku aja semua semangkanyanya." Juno tidak benar-benar menghabiskan semua potongan semangka.

Memakan semangka tanpa Sivan, membuat lidahnya tak bisa merasakan kelezatan secara sempurna. Tiga hari sudah Nenek dikebumikan, Sivan menolak semua hal menyenangkan yang Juno berikan. Boba cokelat ukuran large, buku novel terbaru, buah-buahan segar, semur telur, sampai layang-layang bolong pemberian Lufti. Semuanya dipandang Sivan dengan mata tanpa binar.

"Siv ...." Juno menaruh satu potong semangka setengah habis. Tangannya menindih jari-jari Sivan di pegangan kursi roda. "Jangan gini. Jangan diam aja. Ayo bicara. Ayo cerita." Rambut-rambut Sivan mengayun tertiup angin.

"Kamu boleh sedih dan lampiaskan semua kesedihan kamu ke aku," tambah Juno.

"Atau bilang aja nggak apa-apa kayak biasanya. Supaya aku langsung tahu kalau keadaan kamu lagi nggak baik-baik aja."

"Please ... jangan seperti Sivan kecil lagi. Aku khawatir. Aku takut nggak bisa balikin senyum kamu lagi, Siv...." Juno meremat jari-jari tangan Sivan.

Sivan menepis genggaman Juno. Ia terburu-buru mengembalikan pandang ke depan. Jari-jari Sivan menggesek pelan hidungnya. Cairan merah pekat mendadak datang. Mengalir sangat banyak. Tetesan demi tetesan menodai jaket Sivan. Membentuk lubang darah. Juno merebut telapak tangan Sivan. Warna merah darah menguasai hampir seluruh telapak tangan Sivan.

"Sivan, kamu mimisan!" Juno melepas jaket birunya. Menggunakannya tergesa-gesa untuk membersihkan hidung Sivan.

"Tutup mata kamu. Jangan lihat. Tahan-tahan. Biar aku bersihkan." Dengan telaten Juno mengelap hidung Sivan. Namun, setelah noda darah di permukaan hidung bersih, aliran darah baru kembali mengalir dari dalam hidung Sivan. Dalam sekejab, jaket biru Juno bercampur warna merah. Tidak tahan melihat Sivan yang mulai kepayahan. Juno membanting jaket birunya. Ia menggunakan pundaknya untuk melindungi Sivan dari genangan darah.

"Sivan, tenang, ya. Tutup terus mata kamu sampai kamu merasa baikan." Sambil merangkul tubuh sahabatnya, Juno merogoh saku celana. Mengeluarkan gawai dari dalam sana. Kilatan wajah seorang wanita cantik, berambut kuncir kuda, segera membuatnya memencet huruf D di menu kontak. Nama Dokter Anita menyembul dan menjadi satu-satunya kontak berinisial D di dalam gawai Juno.

Juno membetulkan kepala Sivan yang mulai memberat. Memastikan sekali lagi keadaannya, lalu menepuk punggung Sivan menyalurkan perlindungan. Mobil sedan Kakek berada dalam perjalan pulang membawa Dokter Retnosari yang selalu dipercaya menangani Sivan. Juno harus membuat Anita tahu keadaan Sivan sebelum psikiater itu datang. Ia buru-buru menekan tombol panggilan. Sel otak Juno mengalirkan sebuah rencana. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang