55.

265 18 0
                                    

Udara dingin melapisi seluruh dinding bui yang mengelilingi Evan. Rasanya seperti es menerpa permukaan kulit. Suara dengkuran cukup keras menyelinap dari bui sisi kanan. Bui itu dihuni seorang pria paruh baya sendirian. Kepalanya licin berkilau. Tidak ada rambut satu helaipun di sana. Kasusnya adalah menghilangkan nyawa istri tercinta. Perbincangan petugas di sudut lorong kanan tidak berhenti menghasilkan gema.

Beton sukses menjelajah alam mimpi kedua menghadap dinding penuh coretan abstrak amatir sebelah selatan. Di sampingnya, Joe kesulitan menyusul Beton karena belum merokok seharian. Meskipun beberapa kali Evan memintanya tidur, Janu berjuang keras mempertahankan kesadarannya. Ia ingin menemani Evan sampai sahabatnya mengistirahatkan mata.

Wajah Sivan tak pernah meninggalkan pikiran Evan semenjak mereka dipisahkan di villa. Pun wajah marah Ayah mertuanya di rumah sakit. Evan tidak menyangka. Sudah sepuluh tahun mereka tak bertemu. Wajah marah Kakek Sivan tetap sama seperti saat Sinta dinyatakan meninggalkan dunia. Memerah, menyimpan ledakan amarah. Tidak ada satu titik pengampunan yang terlihat.

Janu turut memikirkan Sivan. Namun, ia juga mengkhawatirkan beberapa kertas di meja villa yang seharusnya ia berikan kepada orang tua angkat Juno hari ini.

"Hei, Van. Menurutmu siapa dalang di balik penangkapan kita?" bahas Janu.

"Memangnya siapa lagi?" sungut Evan memarahi langit-langit bui.

"Hahaha, kamu pasti sudah mengetahuinya sejak awal," duga Janu.

"Tidur, Nu. Besok kalian harus keluar lebih dulu. Dari awal semua ini adalah rencanaku. Jadi, aku sendiri yang akan bertanggung jawab. Selagi aku di sini, tolong jaga baik-baik putraku. Kalau sampai dia terluka, aku akan menghabisi kalian semua." Evan lagi-lagi mengancam menggunakan ancaman yang tidak pernah menjadi kenyataan. Janu terkekeh sambil menguap.

"Pasti akan aku lakukan dan aku nggak akan meninggalkan kamu sendirian, Van. Bahkan, jika kamu dihukum mati pun aku akan tetap ikut. Kita sudah ditakdirkan bersama."

"Najis!"

"Nah, gitu, dong. Kangen aku sama suara najismu. Pelaku kasus relawan ilegal nggak akan dihukum mati, bodoh! Kenapa kita jadi melankolis begini, sih!" Janu menggeplak kepala Evan.

"Sejak aku berteman denganmu, hidupku tidak pernah keren," jawaban sang sahabat melenceng.

"Tapi aku mengajakmu mandi di selokan, jajan di angkringan, mengantri mendapatkan diskonan, beli baju bekas, pergi ke pasar malam, dan mengunjungi panti asuhan binatang. Aku yakin kamu tidak akan pernah tahu tempat-tempat itu kalau tidak berteman denganku." Janu membanggakan diri sendiri.

"Kamu membuatku tidak keren. Tapi, kamu membuatku menjadi manusia, Nu."

"Hahaha, harus aku menangis terharu?"

"Najis!"

"Teruskan memikirkan Sivan sampai kamu tertidur, Van."

"Sedang aku lakukan."

"Kabari aku kalau sudah tidur." Evan membalas geplakan Janu lantas memunggungi tubuh sahabatnya. Janu mengelus kepalanya sebentar sebelum memutar tubuhnya menyamping. Mengikuti arah Evan. Ia melanjutkan menemani Evan sambil menjaga punggungnya. Gema perbincangan para petugas lapas di luar bui berubah menjadi lullaby menenangkan di telinga Janu. Lima belas menit kemudian, punggung Evan mengabur. Layar hitam perlahan menutup mata Janu.

"Kelelahan, tekanan stres, ditambah kepergian Nenek yang tiba-tiba. Fisik apalagi batin Sivan sangat tidak siap menerimanya. Itulah penyebab syok Sivan kembali lagi," simpulan Dokter Retnosari, psikiater yang dulu menangani Sivan sejak kecil. Kini penampilan psikiater itu sangat rapi. Wajahnya menua, namun aura cantiknya tetap terjaga. Tubuhnya lebih berisi dan kaca mata perseginya menebal.

"Apa Sivan akan menjalani terapi seperti dulu? Apa dia harus meminum obat-obatan itu lagi, Dok?" tanya Kakek sembari mengurut mata. Bayangan Sivan kecil kesulitan menelan obat membuat hatinya terasa tersayat pisau tak terlihat. Telapak tangan berkeringatnya menyangga dahi. Sesekali menepuknya beberapa kali. Tanda-tanda keputusaan menguasai seluruh kepalanya.

"Untuk obat belum akan saya berikan. Dokter wanita kemarin siang akan memberikan kabar mengenai hasil lab darah Sivan. Obat-obatan yang akan saya berikan tentu harus sesuai dengan hasil pemeriksaan penyakit Sivan. Ditambah lagi, saya harus berkonsultasi dengan dokter spesialis yang akan menangani Sivan nanti. Kondisi Sivan saat ini tidak hanya masalah psikis, tetapi juga fisik," terang Dokter Retnosari setenang mungkin.

"Dari kecil, aku pikir Sivan sering pingsan karena kelelahan, Dok. Dia tidak pernah mengeluh sakit apa pun kepadaku, kecuali masuk angin biasa. Mengenai mimisannya, Sivan tidak pernah bercerita. Padahal Sivan selalu terbuka kepadaku tentang semua kegiatannya." Sangat penasaran membuat Kakek justru kebingungan.

"Para remaja memang memiliki kecenderungan menyembunyikan masalah mereka. Hal itu mereka lakukan karena malu atau takut merepotkan orang-orang di sekelilingnya. Di umur-umur seperti Sivan itu sering terjadi dan wajar."

"Tidak perlu menyalahkan Sivan. Yang terpenting semoga hasil labnya baik-baik saja. Saya akan mulai mengatur kembali jadwal terapi Sivan," tutup Dokter Retnosari menulis sesuatu di buku catatannya. Kakek mengelap dahi terus menerus selagi dokter itu menyelesaikan tulisannya.

"Bajingan Evan ..." suara Kakek tiba-tiba. "... datang lagi." Dokter Firman menghentikan gerakan pena. Ia menutup buku catatan rapat-rapat hingga membunyikan suara tepukan.

"Kemarin, waktu istriku dirawat, dia datang ke rumah sakit. Bajingan itu membuat organisasi relawan ilegal dan menyamar menjadi relawan untuk menemui cucuku. Dia bekerja sama dengan sekolah Sivan dan membuat cucuku menjadi relawan PMR." Kakek meremas kedua lututnya.

Dokter Retnosari menaruh buku catatannya kembali ke permukaan meja tamu. Tidak lupa memasukkan bolpoin hitam mengkilat ke dalam saku.

"Sivan sudah mengetahuinya?" tebak Dokter Retnosari.

"Untung saja tidak. Dia tertidur di dalam ruangan istriku. Aku tidak akan pernah membiarkan Sivan sampai tahu. Evan sudah aku laporkan ke polisi dan rekan-rekan tentaraku bersedia membantu. Sekarang dia sedang merasakan jeruji besi bersama tiga anak buahnya."

"Berarti Anda sudah puas."

"Puas maksud Anda?" sahut Kakek menyembulkan bola mata.

"Bukankah keinginan Anda sejak dulu sudah terpenuhi? Membuat Pak Evan yang sangat Anda benci masuk penjara?"

"Benar. Itu memang keinginanku sejak dulu. Tapi, aku tidak akan pernah puas sebelum dia mati. Nyawa putriku harus dibayar juga dengan nyawa. Sayangnya, bajingan itu tidak bisa terkena pasal hukuman mati." Dokter Retnosari mengumpulkan udara di sekitarnya. Ia mulai meragukan kondisi kesehatan mental Kakek. Selain Sivan, dokter senior itu akan mengawasi Kakek secara diam-diam.

Anita kesulitan mengedipkan mata menatap gerbang lapas tempat Evan menginap. Gerbang itu berukuran hampir tiga kali lipat tinggi badannya. Suaranya terdengar keras sekali ketika dibuka petugas. Warna cat gerbang abu-abu gelap. Sama seperti kemeja yang sedang dikenakan Anita. Entah mengapa hal itu membuat perasaannya semakin tidak enak. Masih ada waktu untuk membalikkan badan. Namun, ia harus tetap melangkah demi Sivan. Juno tidak jadi menemaninya.

Petugas sipir mengarahkan punggung Anita ke sebuah ruangan khusus pengunjung. Tempatnya berada di ujung lapas. Lagi-lagi warna abu-abu menjadi penguasa. Sepuluh meja besi berserta dua kursi kayu yang mengelilinginya diselimuti cat abu-abu. Dinding-dinding terkelupas membuat sensasi merinding pada permukaan kulit putih Anita. Ini pertama kalinya dokter perempuan itu merasakan hawa lapas penjara.

Anita merapikan rambut pirangnya melihat wajah Evan beberapa meter di depan. Kedua telapak tangan Evan diborgol. Dua petugas sipir memegang erat masing-masing lengannya. Evan sudah menggunakan baju tahanan. Para petugas itu mendudukkannya di kursi seberang Anita.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang