Butuh tambahan tiga hari, Evan baru yakin bahwa Sivan cukup sehat. Padahal dirinya sudah bertemu dan bersama dengan sang putra hampir dua minggu lamanya. Setiap hari Sivan menuntut agar permintaan untuk mengunjungi makam Sinta dikabulkan. Setiap hari rasa kerinduannya kepada Sinta bertambah puluhan kali lipat. Tak tega melihat putranya merintih terus sepanjang malam, Evan memutuskan akan mengabulkan permohonannya memakai sebuah syarat.
Sivan harus melakukan sesi pertama hipnoterapinya bersama Dokter Retnosari. Apabila berakhir baik, maka Evan akan langsung membawa anak itu ke Jakarta hari itu juga. Janu dan semua orang yang menjaga Sivan setuju atas keputusannya. Termasuk Renjana yang masih setia keluar masuk kamar Haris untuk memantau perkembangan sang kakak. Sivan tak punya kesempatan menyusun alasan lain untuk membantah perintah ayahnya.
"Jam berapa Dokter Retnosari datang, Yah?" tanya Sivan sembari membuka segel plastik salah satu novel baru yang dibelikan Evan. Laut Bercerita karya penulis senior ternama Leila S. Chudori.
"Jam sepuluh pagi. Kenapa?" Evan yang semula berdiri mulai mendekat. Ia membawa buku novel lain di tangan. Berniat ingin membacanya berdua bersama Sivan.
"Nggak apa-apa."
Bohong. Evan bisa merasakan. Anaknya tak berani menatap kedua matanya. Evan mampu menebak dengan baik jawaban sebenarnya yang selalu Sivan sembunyikan.
"Nggak apa-apa, kok, kelihatan cemas begitu? Kalau Sivan belum siap melakukan hipnoterapi biar ayah telepon Dokter Retnosari sekarang. Kita atur jadwal ulang," tawar Evan tak tega melihat raut ketakutan anaknya.
"Jangan, Yah. Kasihan kalau beliau udah siap-siap di rumah. Kita juga udah janjian tiga hari yang lalu," tolak Sivan.
Sekitar delapan tahun yang lalu, Kakek tega memutus terapi Sivan begitu saja karena ia bisa bicara dan berjalan setelah bersahabat dengan Juno. Dokter Retnosari muda kelihatan kecewa. Ia tak bisa melawan kehendak Kakek yang tak pernah ingin dibantah. Akhirnya, proses penyembuhan Sivan pun tak berjalan sempurna. Tak pernah dilanjutkan hingga dirinya kelas dua belas SMA. Terbukti dengan traumanya yang kambuh seperti sekarang.
"Ayah," Sivan menutup buku novel tak jadi membacanya.
"Hmm?" sahut Evan membalik bab cerita di halaman pertama.
"Aku belum pernah ngelakuin hipnoterapi. Ini hipnoterapi pertamaku. Gimana kalau hasilnya buruk?"
"Kita belum mencobanya. Jangan berpikir pesimis begitu."
"Maaf, Ayah. Aku cuma gugup."
"Gugup itu wajar. Ayah juga gugup."
"Gugup kenapa?"
"Ini pertama kali juga Ayah nemenin kamu terapi. Harusnya dari dulu ayah ngelakuin ini."
"Gimana kalau traumaku nggak bisa sembuh?"
"Ayah akan terus cari terapis lain buat kamu. Sampai kamu sembuh."
Udara yang masuk di pernapasan Sivan tak lagi menyesakkan dada. Ia mencoba meresapi perkataan Evan. Setelah semua badai yang datang, sang ayah masih saja percaya pada keajaiban. Sivan tahu betul kondisinya seperti apa. Ia merasa hanya tinggal keajaiban yang bisa menolongnya. Umurnya tak lagi anak-anak. Hasilnya pasti tidak akan sebaik yang ia kira.
Joe dan Beton diberi tugas khusus oleh Evan. Mereka bersemangat dan tidak sabar melaksanakan perintah bosnya. Akhirnya Joe dan Beton bisa leluasa melaksanakan tugas. Tanpa harus mengendap-endap dan menyembunyikan identitas mereka. Mereka hanya diberikan dua tugas. Yang pertama tugas yang sangat mudah. Yaitu menjemput layang-layang gapangan pesanan Evan yang telah selesai dibuat di rumah Ibra.
Sayangnya, tugas yang kedua sepertinya akan menyulitkan mereka. Duo pengawal setia Evan itu diminta datang ke Klinik Kartika. Bertemu dengan Anita yang semalam sudah dikonfirmasi bosnya. Mereka diminta membawa nama-nama perawat terbaik yang akan merawat Kakek Sivan di rumah. Evan bersedia membayar mahal asalkan perawat yang terpilih bisa menjaga Haris setiap hari sesuatu prosedur kesehatan.
"Ehem ...." Joe berdeham usai Anita menutup pembicaraan di ruangan pribadinya. Dokter itu berkedi-kedip sembari mengangkat kedua alis.
"Dokter nggak ingin menanyakan sesuatu?" lanjut Joe. Beton mendengkus, mencium bau-bau seseorang yang sedang Joe bicarakan. Siapa lagi kalau bukan bosnya.
"Eh, iya. Sivan sekarang gimana keadaannya? Sudah semakin membaik, kan? Aku mau menjenguk, tapi beberapa minggu ini mendadak klinik ramai sekali. Sedang musim flu dan batuk."
"Sivan udah bertemu sama Bos. Dia sadar dan mengingat semuanya. Tapi, kata Bos trauma Sivan kambuh." Joe tak jadi menggunakan Evan untuk memancing Anita.
"Iya, aku pernah melihat Sivan pingsan di pengungsian. Dia terserang panik karena melihat salah satu psikolog memakai topi badut pantomim."
"Satu-satunya keluarga Kakek Sivan di Yogya hanya tinggal Renjana. Dia bertahun-tahun bekerja, menetap di Jepang, dan mempunyai istri sah di sana. Ia tak mungkin membawa Kakek Sivan ke Jepang. Bos ingin cepat-cepat membawa pulang Sivan ke Jakarta. Maka, ia meminta untuk dicarikan perawat yang bersedia merawat Kakek Sivan di rumah," jelas Joe cukup menjelaskan.
"Sudah aku duga Kakek Sivan depresi. Waktu beberapa kali menemainya saat Sivan sakit, aku melihat tanda-tanda depresi pada beliau. Untung sudah ketahuan sekarang, ya. Jadi bisa segera dilakukan penanganan."
Mereka pulang membawa lima nama calon perawat Haris. Semua perawat itu dikenal baik oleh Anita. Layang-layang gapangan sudah di tangan dan kertas berisi CV calon perawat Kakek sudah digenggaman. Dengan wajah penuh kebanggaan Beton dan Joe melajukan mobil sampai berhenti lagi di halaman rumah bercat biru yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Di samping mobil mereka sudah terparkir mobil Dokter Retnosari.
Ini misi pertama Joe dan Beton setelah dikurung di penjara dan dibiarkan menunggu berhari-hari di villa. Mereka bangga sekali bisa melakukan tugas dengan hasil yang sempurna. Hingga jeritan histeris dari dalam rumah melenyapkan semua rasa bangga. Mempercepat langkah keduanya untuk menapak teras di depan pintu rumah.
Awalnya sesi hipnoterapi berjalan baik. Dokter Retnosari masih mengingat betul peristiwa perampokan yang dulu ia dapatkan dari Haris dan Andriyani. Sehingga Evan tak perlu mengulang menceritakan semuanya dari awal. Namun, keadaan Sivan yang awalnya tenang membrutal usai hipnoterapi memasuki tahap hipnosis. Sivan diberi sugesti di saat kesadarannya terombang-ambing. Sugesti itu menghadirkan bayangan kejadian perampokan tragis bersama Sinta. Terlihat sangat jelas dan begitu nyata.
"Mama! Mama!"
Dokter Retnosari terus menerus memberikan sugesti yang tidak hanya membuat Sivan histeris. Evan tersulut emosi saat putranya dipaksa untuk membayangkan lebih dalam setiap detil yang terjadi pada peristiwa perampokan yang dialami. Tuujuan Dokter Retnosari melakukan itu adalah untuk membangkitkan keberanian Sivan menghadapi kenyataan masa lalu. Jika Sivan berhasil, selanjutnya yang akan dokter itu lakukan adalah memberikan sugesti solusi agar Sivan bisa melawan rasa ketakutannya terhadap darah.
"Sivan, mulai hari ini, ketika kamu melihat darah, kamu nggak akan merasa takut lagi. Semua kejadian itu sudah berakhir dan darah yang selalu muncul di pikiranmu itu tidak ...." Tahap posthypnotic suggestion yang baru akan dilanjutkan Dokter Retnosari terpaksa berhenti. Jeritan Sivan juga terhenti.
Remaja itu memegang dadanya yang terasa nyeri. Kedua matanya memejam menahan sakit. Evan merengkuh tubuh kurus Sivan cepat dan segera memberikan pertolongan. Dokter Retnosari menghentikan proses terapi. Ia membantu Evan menenangkan Sivan. Hipnoterapi pertama Sivan berakhir tak bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...