Sampai pukul delapan pagi belum ada satu pun toko mainan yang buka. Di pasar itu ada dua toko mainan. Sebelah utara dan sebelah selatan pasar. Evan dan Janu memutuskan berhenti di tengah-tengah. Mereka mampir di sebuah angkringan tanpa terpal untuk sarapan pagi. Evan hanya memesan kopi, sementara Janu sudah menghabiskan dua bungkus nasi kucing.
"Pak, tahu penjual layang-layang di sekitar sini?" Evan bertanya kepada pemilik angkringan yang sedang sibuk membungkus sesuatu.
"Kalau jam segini, ya, belum ada toko mainan yang buka, Mas. Paling sekitaran jam sepuluh bukanya." Pemilik angkringan tidak berhenti menarik ulur karet sembari menjawab pertanyaan Evan. Evan menunduk, lanjut menyeruput kopi.
"Sayang banget Mas sama anaknya. Pagi-pagi sudah mau beliin layang-layang," lanjut pemilik angkringan. Mata teduhnya melengkung. Memancarkan perasaan penuh kasih yang lembut. Sepertinya bapak pemilik angkringan itu juga penyayang keluarga sama seperti Evan.
"Betul, Pak. Sayang banget dia sama anaknya. Setengah enam tadi dia sudah manasin mobil," sewot Janu. Pemilik angkringan menghentikan kegiatannya membungkus sesuatu dan tertawa keras. Evan memilih meneruskan perjalanan kopi menuju mulutnya.
Tinggal satu seruput lagi kopi di dalam gelas besar itu tandas, Evan menaruhnya di atas meja. Ia melihat seorang pria berjaket jeans kusut terlihat mencurigakan. Pria itu berjalan pelan mengikuti pergerakan seorang wanita berambut sebahu di depannya. Wanita itu sama sekali tidak sadar. Ia lantas menjerit kencang karena pria itu merampas begitu saja dompet yang ia keluarkan dari dalam tas.
"Copet!!!" teriak wanita. Pundak Evan berdiri. Janu meninggalkan nasi kucing ketiganya menyusul Evan berlari. Mereka berdua bekerja sama mengejar si pencuri. Evan mempunyai kecepatan berlari di atas rata-rata, dengan mudah menyalip kecepatan pencopet. Ia menendang keras punggung pencopet. Membuatnya terhempas ke depan dan menabrak sebuah tempat penuh lalat.
Janu segera mengambil dompet yang terjatuh di dekat tumpukan sampah. Ia melemparnya kepada Evan. Beberapa petugas penjaga pasar sigap berdatangan. Para warga dan pedagang yang hendak mendekat menghentikan niat untuk menghajar.
"Terima kas ...," Anita tidak melanjutkan ucapannya. Ia mengenal wajah tidak asing di depannya. Wajah tampan dengan ekpresi datar namun tatapannya sedalam lautan. Ia merasa pernah bertemu pria ini sebelumnya. Bayangan kehebohan Evan di klinik beberapa minggu lalu, satu per satu terproyeksi di dalam pikirannya.
"Anda Pak Evan, kan?"
"Ya." Angguk Evan. "Terima kasih Pak sudah menolong saya. Saya Anita, dokter di klinik Kartika." Evan diam tidak merespon. Ternyata, pria itu tidak mengingat Anita. Mungkin saking paniknya Evan melihat Sivan pingsan. Anita menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan perkenalan.
"Beberapa minggu yang lalu Pak Evan datang ke klinik tempat saya praktik. Membawa putra bapak yang sedang sakit. Saya yang menangani putra bapak."
"Oh, iya. Aku ingat."
"Ngomong-ngomong sedang apa bapak di pasar?"
"Aku sedang mencari layang-layang."
"Sepagi ini?" Evan kembali diam tidak menanggapi. Namun, ia masih menatap wajah memerah Anita. Wanita itu mendadak kesulitan untuk mengendalikan diri. Entah kenapa tatapan tajam Evan membuat sesuatu di dalam hatinya bergejolak. Apalagi kalau bukan hati. Perasaan membara itu segera Anita tepis. Pikirannya memunculkan teras kios mainan yang tadi mobilnya lewati. Letaknya tidak terlalu jauh dari pasar.
"Saya tadi melihat ada toko mainan sudah buka. Tidak jauh dari sini. Kalau Bapak tidak keberatan mari saya antar," tawar Anita. Tanpa menjawab, Evan mengikuti langkah Anita begitu saja. Meninggalkan Janu yang masih mengunci kedua tangan pencopet. Jangan lupa Evan selalu melupakan hal-hal di sekelilingnya jika menyangkut sang putra. Harta paling berharganya di hidupnya.
Toko mainan itu terletak dua kilometer dari pasar. Anita tidak bisa ikut masuk ke dalam sana, karena harus buru-buru ke klinik. Mereka saling melambaikan tangan perpisahan di depan toko. Cobaan kembali diterima Evan. Layangan kriterianya tidak ada di sana. Toko itu hanya menjual layang-layang biasa. Sebagian besar terbuat dari kertas tipis bergambar kepala Power Rangers dan tokoh kartun anak-anak lainnya.
Evan menunjukkan foto layangan yang ia simpan dari beranda facebook Sivan. Penjaga toko segera paham kriteria layang-layang yang Evan inginkan. Layang-layang yang ingin Evan beli adalah sebuah layang-layang berjenis gapangan berbentuk burung elang. Bisa dibilang jenis itu tidak dijual sembarangan dan harus pesan secara pre order. Evan tidak masalah dengan sistem semacam itu. Ia tetap mengiyakan asalkan gapangan itu ia dapatkan.
Pemilik toko berjanji akan memberi kabar Evan apabila gapangan pesanan Evan sudah jadi. Ia memberikan estimasi selama tiga hari. Evan tetap memborong banyak layang-layang untuk hiburan anak-anak di pengungsian. Tidak lupa juga membeli mainan untuk anak-anak perempuan.
Tidak ada satupun anak yang tertinggal di dalam barak pengungsian. Mereka semua keluar untuk mendapatkan masing-masing satu mainan layang-layang. Anak-anak perempuan sibuk lebih dulu duduk di tempat teduh untuk membuat kue imitasi dari tanah. Sementara para anak laki-laki masih mengantri mendapatkan tali senar untuk menerbangkan layang-layang.
Sivan yang sejak kecil sudah bisa menerbangkan layang-layang membantu seorang anak yang kesulitan menerbangkan layang-layang. Mendadak menjadi sosok paling ahli dan dihormati anak-anak. Evan bahkan kalah dengan kemampuan Sivan mengatur senar. Pria itu tidak bisa menentukan arah angin yang tepat. Selesai membantu anak-anak, Sivan duduk di sebuah batu di samping para anak perempuan memasak kue tanah.
"Kenapa melamun?" Tidak lama Evan menyusul Sivan. Berdiri di samping batu. Sivan tersenyum melihat kekonyolan Juno berebut tali senar dengan Janu.
"Om Janu sama Juno semakin dekat aja."
"Kita berdua juga" sahut Evan.
"Aku punya cerita lucu. Om mau dengar?"
"Boleh. Ceritakan sekarang."
"Waktu kecil, aku pernah menyelipkan surat-surat yang ingin aku kirim untuk Ayah di layang-layang. Layang-layang itu aku terbangkan sangat tinggi. Aku pikir jika layang-layang itu putus, dia bisa terbang terbawa angin sampai di tempat Ayah."
"Aku nggak melakukannya setiap hari, Om. Hanya ketika merindukan Ayah aja. Waktu itu aku sangat yakin cara itu ampuh. Tapi, lama-lama sadar sendiri. Layang-layang itu nggak akan mungkin bisa sampai di tempat Ayah."
"Selama kalian berpisah, Ayah kamu tidak pernah menemui kamu, ya?"
"Iya."
"Jahat sekali, ya ...."
"Aku nggak pernah menganggap Ayah orang jahat." Evan merasakan sesuatu yang berat menahan pernapasannya. Kedua telapak tangan Evan mengepal. Menyembulkan otot-otot besar.
"Aku percaya Ayah masih memikirkan aku, Om. Suatu hari nanti, Ayah pasti datang menemuiku. Karena ayahku seperti Merapi. Dia tidak pernah ingkar janji." Kedua telapak tangan Evan kembali terbuka. Ia membuang napas yang sempat tertahan.
"Sivan ...."
"Ya, Om?"
"Seandainya Ayah kamu ada di sini sekarang. Apa yang ingin kamu katakan?" Sivan berbalik badan. Mendongak menatap mata dan juga masker hitam yang menutupi setengah muka Evan.
"Semua yang telah terjadi bukan salah Ayah. Sampai kapanpun, Sivan tetap sayang Ayah. Itu yang akan aku katakan, Om." Satu tetes air mata kecil meluncur dari ujung mata kanan Evan. Evan tidak menyadarinya dan terus menatap mata Sivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...