53.

271 21 6
                                    

Dengan cahaya mata tak terlalu berbinar Evan membagikan tragedi Sinta kepada Serda Usman tanpa diminta. Mengagetkan Janu dan membuat mulut terbukanya seketika terbungkam. Membangunkan punggung Joe dan Beton yang semula berbaring nyaman. Jarang sekali Evan mau terbuka dengan orang lain secepat ini. Apalagi orang tersebut masih layak dibilang orang asing yang baru ditemui beberapa hari. Semuanya mengalir seperti takdir. Evan merasa memiliki banyak kesamaan dengan mantan anggota pasukan khusus itu.

Mereka sama-sama kehilangan sang dewi, sama-sama mempunyai anak laki-laki, dan sama-sama masuk penjara demi memperjuangkan sosok yang disayangi. Diam-diam Evan mengagumi sosok pria tegap di depannya kini. Ia ingin seperti Serda Usman yang berani mempertaruhkan harga diri. Namun, seseorang yang harus ia lawan dan hadapi bukanlah para preman teri. Ia tidak mungkin menghilangkan nyawa Haris di dunia ini. Andai ayah mertuanya seperti Serda Usman, mungkin ia tak akan sampai segila ini.

"Berapa tahun usia anak you, Van?"

"Tujuh belas tahun."

"Berarti sekarang naik ke kelas dua belas, ya?"

"Ya."

"You nikah muda apa bagaimana?"

"Beberapa bulan setelah masuk kuliah aku menikah."

"Anakku yang tadi menjengukku seusia sama anak you. Tapi, dia yang paling bungsu. Anak sulungku kuliah semester tujuh."

"Anak Anda sepertinya rutin menjenguk," Janu masuk dalam obrolan. Memancing perhatian pria bertato dan pemuda ceking yang kini memijit kedua lengan Serda Usman bergantian.

"Satu bulan sekali dia ke sini. Aku juga heran. Berani sekali dia datang menjenguk ayahnya sendirian. Padahal setelah istriku tewas dibacok preman, dia sempat depresi beberapa bulan. Tidak mau makan, minum, dan bicara."

Dahi Evan membentuk lekukan gelombang meresapi kata depresi. Anak Serda Usman diberikan Tuhan pengalaman yang sama mengerikannya dengan Sivan. Bedanya, Sivan jauh lebih parah. Putranya mengalami sendiri kejadian perampokan. Ia melihat tubuh Sinta tertembus empat peluru tepat di depan kedua matanya. Membayangkan itu semua membuat Evan ingin menghabisi semua penjahat di dalam sel penjara. Kecuali Janu, dua pegawai setianya, dan juga Serda Usman.

"Kata anak sulungku, satu bulan setelah aku dipenjara, anak bungsuku baru mulai mau bicara. Aneh sekali, kan?"

"Mungkin pengaruh usia remajanya. Emosi anak remaja memang bisa menghasilkan kelakukan bermacam-macam yang terkadang aneh dan di luar logika." Janu melanjutkan dengan memberikan cuplikan materi parenting yang ia dapatkan dari beberapa buku psikologi yang pernah ia baca. Penjelasan Janu tak terlalu menarik atensi Serda Usman. Pria itu menutup mata menikmati pijatan dua pengikut setianya di dalam sel penjara.

"You mendirikan organisasi relawan dan menyamar menjadi anggotanya demi bisa bertemu anakmu. Lalu, ada yang melaporkan kalian sebagai oraganisasi relawan illegal," ulang Serda Usman menghadap Evan. Menyadarkan pria itu dari halusinasi yang berkelana ke mana-mana.

"Ya," sahut Evan. Senyuman Serda Evan memiring.

"Relawan adalah pekerjaan kemanusiaan. Mereka bekerja untuk menolong manusia. Tanpa diminta dan diberi imbalan apa-apa. Kok, ya, ada manusia yang tega melaporkan organisasi penuh keikhlasan seperti kalian. Benar-benar di luar akal."

"Awalnya kami hanya organisasi relawan yang lahir dari simpati dua pemuda dan satu pemudi. Setelah istri Evan meninggal, kami menyatukannya dengan perusahaan kami. Semua anggota sebagian besar adalah karyawan kami sendiri. Jadi, kami pikir tidak perlu mendaftarkan izin ke badan hukum," tutur Janu. Mengundang tatapan mengintidasi Evan. Ia tidak setuju sang sahabat mengumbar-umbar semua kerja rahasianya.

"Tapi, ya, mbok dipikir-pikir gitu. Kalian, kan, selalu dibutuhkan saat keadaan darurat. Kalau semua organisasi relawan yang belum memiliki izin hukum yang jelas dicap ilegal dan para anggotanya dipenjara seperti kalian, siapa yang akan ikut menolong ketika bencana datang?"

Gelombang-gelombang di dahi Evan lenyap. Ia terhipotis sepenuhnya pada setiap kata yang keluar dari indera bicara Serda Usman. Meskipun kehilangan profesi dan jabatan, karisma serta wibawanya sebagai pasukan khusus tidak hilang.

"Ketika menolong warga yang terkena musibah, semua orang bisa, kok, menjadi relawan. Tidak perlu membawa-bawa jabatan. Tidak perlu meributkan apa-apa. Tidak perlu membawa izin berbagai macam jenisnya. Karena yang paling penting kehadiran mereka. Semuanya didasarkan atas kemanusiaan."

"Betul! Itu yang kami maksud," takjub Janu. Evan pun setuju.

"Simpan dan catat omongan Serda Usman di otak kalian. Semua yang keluar dari mulut Serda Usman adalah pengalaman berharga dari seorang pasukan khusus yang rela mati demi membela negara dan istrinya." Suara pria bertato harimau membelah percakapan. Menjeda sesaat obrolan berbobot mereka. Dua kalimat saling mendukung keluar menjadi penutup.

"Anda hebat bisa membalas orang-orang yang membunuhistri Anda. Waktu kejadian perampokan aku justru sedang berada di Singapura. Tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa melindunginya, dan terlambat menolongnya," sesal Evan begitu dalam.

"You juga hebat. Melakukan apa saja sampai menyamar menjadi relawan demi bisa bertemu anakmu. Andai aku tidak di sini, aku ingin bisa membantu you." Evan melukis segaris senyuman untuk berterima kasih atas tawaran Serda Usman. Pria yang baru beberapa hari dikenalnya di dalam sel penjara membarakan api semangat dalam tubuhnya. Setelah ini, Evan ingin menambah kecepatan. Tak ingin terlambat kedua kalinya.

Percakapan bersama Serda Usman cukup menenangkan, namun tak membuat Evan bisa tidur dengan nyaman. Bagaimana jika semua ini terjadi karena hukuman Tuhan atas semua kesalahannya. Bagaimana jika nanti tak akan berakhir sesuai yang ia harapkan. Bagaimana jika Haris tidak pernah memaafkannya selamanya dan gagal membawa Sivan pulang. Evan menatap Janu yang memunggunginya mencari ketenangan sekaligus mengusir ketiga hal yang mendadak menguji kewarasannya.

"Tidur, Van. Ngapain ngeliatin punggungku terus," ujar Janu. Ternyata dia terbangun. Evan tersenyum sendu. Menampar punggung sahabatnya yang beberapa saat yang lalu terlelap dengan mulut terbuka.

"Nggak bisa tidur," balasnya. Janu meninggalkan dinding, memutar badan menghadap langit-langit bui.

"Pikirkan hal-hal menyenangkan yang pernah kamu lakuin sama Sivan."

"Itu semakin membuatku nggak bisa tidur. Sedang apa, ya, dia sekarang? Apa anakku sudah tahu tentang penangkapan kita."

Kedua kalinya Janu merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Ia mendudukkan diri untuk lebih memastikan.

"Van, kamu nggak apa-apa?"

"Kenapa?"

"Jarang banget kamu banyak bicara kayak seharian ini. Nggak ada rencana macam-macam, kan?"

"Kapan aku nyusun rencana tanpa memberitahu kalian?"

"Ya sudah, sekarang tidur. Nggak usah mikirin apa pun dulu."

"Sudah kubilang aku nggak bisa tidur."

Mata Janu terbelalak. Ia baru menyadari Evan tak menggunakan bahasa formal seperti biasanya. Janu ragu Evan tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ia tak benar-benar melanjutkan tidur. Janu pura-pura memejam tiap kali Evan mengembuskan udara. Agar tidak ketahuan bila ia terjaga demi menemani sahabatnya. Evan membiarkan Janu melakukan semua sesuai kemauannya.

Diam-diam Evan menuruti perkataan Janu. Memikirkan hal-hal menyenangkan bersama Sivan. Dari pertama kali menemukan sang putra di pinggir jalan, melakukan kegiatan menyenangkan di pengungsian, saling membalas pesan pribadi di Facebook, memesankan layang-layang gapangan kesukaan Sivan, hingga harus berpisah lagi seperti sekarang. Banyak hal yang sudah ia lakukan untuk putranya. Ia tak boleh berpikir untuk menyerah.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang