78.

278 14 0
                                    



Evan dan Janu sepakat merahasiakan kondisi Haris dari Sivan. Renjana mendukung keputusan mereka. Kakek adalah salah satu manusia kesayangan Sivan di dunia dan Sivan termasuk remaja dengan pemikiran melebihi usia yang seharusnya. Sivan mempunyai misi untuk membalas budi atas semua jasa yang diberikan Haris semasa kecil. Sama seperti Juno yang merasa mempunyai utang kepada kedua orangtua angkatnya.

Ketiga pria itu khawatirkan kondisi Sivan apabila mengetahui kenyataan pahit ini. Meskipun fisiknya kian membaik, emosi Sivan cenderung menurun setiap hari. Mereka kini harus fokus mempersiapkan terapi yang akan Dokter Retnosari berikan kepadanya. Dokter Retnosari meminta emosi stabil sebagai salah satu syarat melakukan metode hipnoterapinya.

"Yah. Om Janu," panggilan Sivan mengudara. Ia telah dibiarkan Evan duduk sendirian di kursi belakang. Evan sengaja menemani Janu mengemudi karena khawatir putranya menyadari ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.

"Kok, kalian diam aja?" Betul, kan. Sivan curiga juga. Janu menyuruh Evan menjawab menggunakan lirikan tajam. Ia harus fokus mengedalikan mobil. Jalan Magelang dipadati kendaraan berbagai bentuk. Besok adalah hari minggu.

"Om fokus nyetir mobil, Siv. Kalau kita kecelakaan bisa bahaya," jawab Janu.

"Ayah ngantuk, Sivan." Evan menjawab singkat.

"Oh, iya. Semalaman Ayah jagain aku sampai nggak tidur, ya." Tersenyum getir Sivan mengatakan itu. Wajah manisnya kelihatan lebih segar terkena paparan sinar hangat matahari pagi. Rona pucat yang melekat beberapa hari ini tak terlihat lagi.

"Ehem .... Sivan belum kamu kasih tahu soal Juno, kan, Van?" Pertanyaan itu sengaja Janu pakai untuk mengalihkan pembicaraan. Ia tak keberatan Sivan mengetahuinya sekarang. Menyembunyikan juga pecuma. Juno pasti diam-diam memberitahukan semuanya ke Sivan.

"Ya."

"Ada apa? Juno kenapa? Dia baik-baik aja, kan?" Tiga pertanyaan Sivan sodorkan. Memajukan tubuhnya mendekat di tengah-tengah jarak kursi Evan dan Janu. Remaja itu mudah terpancing karena nama sahabatnya disebut. Sivan baru menyadari beberapa hari ini Juno tak menampakkan diri di rumahnya. Mengirim ucapan selamat pagi di WA juga mulai jarang ia lakukan. Apakah kakak jadi-jadiannya sudah lelah menghadapinya. Apakah dia menemukan anak malang lain yang ingin ia jaga.

"Janu berniat menjadikan Juno anak angkatnya," balas Evan tak ingin berbasa-basi. Ia menundukkan kaca spion kecil demi melihat ekspresi Sivan di kursi belakang. Evan hampir meledakkan tawa mendapati wajah terkejut Sivan yang mirip seperti Sinta ketika teledor menaruh barang.

"A-anak ang-angkat? Maksudnya diadopsi?" Sivan memastikan. Mulutnya sampai membentuk huruf O saking kagetnya.

"Pinter," sahut Evan sambil mengembalikan letak kaca mobil di posisi semula. Janu malah gugup mendengar respon Sivan di belakang. Juno sudah menjadi sahabat Sivan sejak kecil, tentu remaja itu tahu banyak tentangnya. Dari sisi luar maupun kondisi terdalam.

"Kok, bisa? Hah? Tunggu-tunggu," Sivan memijat keningnya. Baginya ini seperti menghadapi sebuah plot twist cerita yang membuatnya tidak siap karena penulis tidak pernah membeberkan tanda-tanda sebelumnya.

"Bisa saja. Dia merasa ada banyak kemiripan dan kecocokkan dengan Juno. Katanya, kalau punya anak ia ingin anaknya seperti Juno. Janu sudah merencakan semuanya saat sosialisasi relawan PMR," jelas Evan yang cukup menyiram rasa penasaran Sivan.

"Keputusan Juno bagaimana?"

"Nah, itu yang mulai mengganggu pikiranku," keluh Janu.

"Kamu sendiri yang merencakan, kamu sendiri yang kebingungan," sindir Evan. Janu tak tersinggung sama sekali.

"Dia masih aku beri waktu untuk memutuskan. Tapi, kamu tenang aja. Janu akan tetap ayah kamu kasih beasiswa kuliah kalaupun ia menolak tawaranku."

Sivan tak mencoba menjawab lagi. Ia ikut kebingungan atas rencana lelaki yang sedang menyetir. Ditambah lagi, Juno mempunyai orangtua angkat dari kecil. Orangtua angkat super baik hati yang memperlakukan Sivan seperti anak mereka sendiri ketika berkunjung untuk bermain.

"Nggak usah dipikirin, Sivan. Itu urusan mereka. Biarkan saja." Evan menimpali.

"Semoga Juno mau, ya, Om. Supaya dia bisa kuliah bareng sama aku. Juno sudah banyak berjasa membantuku. Ia juga yang membuatku akhirnya mau bicara dan berjalan dengan normal lagi."

Evan dan Janu sama-sama melirik ke belakang. Kalimat cukup panjang Sivan menggetarkan hati mereka. Persahabatan Sivan dan Juno ternyata seindah ini. Saling mendukung satu sama lain. Saling memberikan kebahagiaan satu sama lain. Sampai orang lain bisa merasakan ikatan kuat di antara mereka. Padahal beberapa hari ini mereka jarang berjumpa.

Mobil sedan hitam lain yang terparkir di garasi menaikkan atensi dua pria dewasa di kursi mobil. Beton dan Joe akhirnya tiba membawakan semua barang-barang Evan dari villa. Mereka berdua tak tahan bila harus bertahan di sana sementara Evan terus berjuang sendirian. Benar-benar anak buah yang pengertian. Beton dan Joe masih dijamu Renjana di ruang tamu begitu Evan menuntun Sivan masuk. Renjana membiarkan mereka tahu keadadan Haris yang sebenarnya.

"Bos!!!" sambut mereka kompak. Beton terlihat yang paling girang.

"Kalian sudah datang."

"Halo, Om ...." Sivan menyapa keduanya menggunakan senyuman. Yang langsung membuat mata mereka berkaca-kaca. Ini pertama kalinya putra sang bos kesayangan memanggil mereka setelah lolos dari maut.

"Halo, Sivan. Kamu sudah sehat?" Joe bertanya hati-hati. Takut membuat semua orang di ruang tamu itu tersinggung.

"Sudah. Kemarin dia aku bawa ke rumah sakit karena demam." Evan yang menjawab. Kedua pegawai setianya mengangguk. Beton dan Joe lagi-lagi menunjukkan kekompakan. Mereka berdiri hendak memasukkan barang-barang Evan dan Janu yang masih menunggu di teras.

"Barang-barangnya mau dimasukkan ke mana, Bos?" tanya Beton.

"Taruh di bawah dulu saja."

"Bawa ke kamarku nggak apa-apa, Ayah. Kamarku, kan, luas."

"Nggak, di sini saja sementara. Di sini lebih luas."

Walau cemberut Sivan mengalah. Mempersilakan kedua pria beda ukuran tubuh melewatinya demi melaksanakan perintah Evan. Janu telah menemani Renjana duduk di sofa. Mereka berdua melihat Evan yang masih setia berdiri menjaga Sivan dengan tatapan sulit diartikan. Tetapi, tubuh Sivan yang tiba-tiba putar haluan tak jadi menuju anak tangga mengagetkan mereka.

"Aku mau lihat keadaan Kakek di kamar," ucapnya menghadap Evan. Seolah meminta persetujuan darinya.

"Kakek sedang istirahat, Sivan. Sebaiknya jangan diganggu," imbau Evan. Ia melirik dua pria di sofa meminta bantuan.

"Dari kemarin aku belum menjenguk Kakek," ucapnya lagi. Kali ini menghadap tepat ke pintu kamar Kakek yang menutup.

"Kakek sedang tidur. Nanti kalau sudah bangun saja, ya, jenguknya. Omong-omong Opa bikin cookies kesukaan kamu. Nanti Opa antarkan ke kamar." Renjana bangkit hendak menuju dapur.

"Di makan sama-sama di sini aja, Opa."

"Istirahat, Sivan." Evan mendorong punggung tipis putranya. Membelokan arah jalannya lebih ke kanan. Kembali cemberut Sivan menurut. Ia menginjak anak tangga satu-satu dengan bibir merengut. Kenapa semua orang masih memperlakukannya seperti orang sekarat. Padahal dirinya sudah benar-benar merasa sembuh. Kenapa semua orang meragukannya? Bahkan ayahnya juga. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang