Baru setelah pintu utama tertutup, Evan menancap gas jeep kembali menuju vila. Sepanjang perjalanan pikiran Evan tidak lepas dari sikap sedikit kasar Kakek kepada Sivan. Hingga membawa ia kembali pada kalimat Sivan beberapa saat yang lalu di ruang tamu vila.
"Tapi, beliau juga sangat tegas kepada saya." Evan menggenggam setir mobil sangat erat. Seperti hendak menghancurkannya. Entah kenapa kemarahan hebat tiba-tiba menguasai dirinya. Kedua matanya menajam sembari mencari nama seseorang di layar gawai. Evan segera memerintahkan Beton dan Joe mengawasi rumah Kakek Sivan. Ia ingin memastikan keadaan Sivan baik-baik saja. Dan, jika sampai kekhawatiran Evan benar, ia akan langsung menjemput Sivan secara paksa.
Ada yang aneh pagi ini. Selain guru matematika yang tumben sekali memberikan ujian pilihan ganda semua, Juno tidak berhenti menghujani senyum usil ke Sivan. Ia sudah melakukannya sedari pagi. Sivan yang berusaha menahan sabar sejak tadi, akhirnya bertanya kepada Juno secara langsung. Ia khawatir Juno putus cinta dan hampir gila seperti satu tahun yang lalu. Mumpung soto kantin masih mengepulkan asap panas, Sivan buru-buru membuka mulut.
"Kamu kenapa, No? Dari tadi pagi senyam-senyum mulu," selidik Sivan.
"Cie ...," geli Juno.
"Cie apa? Kamu punya gebetan baru?" Sivan benar-benar penasaran.
"Cie yang nilai Bahasa Inggrisnya paling tinggi,"
"Emang sudah keluar nilai-nilainya?
"Kebiasaan mengelak. Nggak pernah mau dipuji."
"Kamu lagi ada masalah apa sih, No? Sini-sini cerita." Juno menjewer kedua telinga Sivan bersamaan. Memainkannya seperti telinga seekor kelinci. Daun telinga Sivan langsung diserbu warna merah.
"Kemarin waktu kamu pingsan di pinggir jalan, tiba-tiba ada om-om nyamperin kita. Dia yang menolong kamu. Kamu nggak diapa-apain, kan, sama Om itu?"
"Nggaklah. Namanya Om Ivan. Dia salah satu relawan Gunung Merapi yang sedang bertugas,"
"Pantas aja baik banget orangnya. Dia panik banget waktu nolongin kamu."
"Aku dibawa ke Klinik Kartika sama beliau."
"Aku yang menyuruhnya membawa kamu ke sana. Kamu udah baikan sekarang?"
"Lumayan. Tapi, kemarin aku histeris lagi di klinik." Juno menepuk-nepuk bahu Sivan.
"Nggak apa-apa. Tenang-tenang. Kamu tenang aja. Semuanya butuh proses. Kalau kamu masih takut, ya takut aja. Keluarin semua ketakutan kamu. Nggak usah ditahan-tahan."
"Makasih udah perhatian, No."
"Udah tentu aku perhatian. Kan, aku kakakmu."
"Maaf, saya anak tunggal."
"Sejak aku melihatmu pertama kali. Aku langsung ingin menjadi kakakmu."
"Masih pagi, nggak usah random, No."
Juno terkekeh puas menjahili sahabatnya. Tetapi, ia benar-benar tidak main-main dengan pengakuannya. Sivan sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Adik rapuh yang harus selalu ia lindungi. Juno menyeruput es jeruk yang baru saja menginjak meja. Sivan diam memikirkan maksud kalimat Juno barusan. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Hari ujian masihlah panjang. Sivan tidak ingin jatuh sakit lagi dan mengurangi nilai ujian.
Setelah satu minggu yang lalu drop, kondisi fisik Nenek kian membaik. Sore ini, Nenek diperbolehkan untuk keluar dari kamar. Hari ini adalah hari terakhir Nenek melakukan bed rest. Ditemani seorang perawat rumah sakit, Nenek mengunjungi kebun pernuh tanaman. Senyum cantik wanita renta itu terbit tatkala melihat bunga-bunga kesayangannya mekar. Bunganya tetap terawat. Kakek dan Sivan setiap hari bergantian menjaga taman kesayangan Nenek. Mereka bedua sangat tahu Nenek pecinta tanaman. Dulu yang secara rutin merawat taman ini adalah Sinta.
Hembusan angin yang terasa dingin menerpa permukaan kulit putih Nenek. Angin itu menggerakkan beberapa tangkai daun, hingga menghadirkan sesosok bayangan transparan di mata Nenek. Nenek berkedip lemah. Ia melihat gaun kuning itu lagi. Gaun yang sering Sinta pakai dulu setelah menikah dengan Evan. Gaun yang sengaja Nenek jahit sendiri untuk hadiah pernikahan putrinya. Sinta selalu memakai gaun itu ketika menjenguk Nenek di Merapi. Nenek masih tak menyangka jika gaun itu jugalah yang mengantarkan Sinta menuju akhir perjalanan hidupnya.
Satu tetes air mata menuruni pipi Nenek. Tiba-tiba dua lengan kurus melingkar lembut di lehernya. Kedua telapak tangan dingin Nenek segera menangkupnya. Kemudian memberikan elusan paling lembut sedunia. Terdengar suara kekehan lelah Sivan di belakang kursi roda Nenek.
"Nenek sudah sehat?" tanya Sivan lembut. Kepala Sivan mendusel-dusel di pundak Nenek. Tentu dengan gerakan pelan, agar Nenek tidak merasakan sakit.
"Kamu lihat sendiri Nenek berhasil keluar kamar lagi, kan?" jari-jari renta Nenek bergerak bergetar mencari pipi Sivan. Sivan segera memajukan sedikit kepalanya, agar tangan Nenek berhasil mendarat di pipinya. Nenek tersenyum lega, merasakan kedua pipi Sivan.
"Sivan rindu Nenek."
"Nenek juga sangat merindukan Sivan."
"Sivan rindu masakan Nenek, Sivan rindu melihat Nenek menyiram bunga, Sivan rindu Nenek memarahi Sivan kalau pulang terlambat, Sivan rindu dijemput Nenek waktu main layangan, dan Sivan rindu Nenek nemenin Sivan olahraga." Sivan semakin menenggelamkan kepalanya di pundak belakang Nenek.
"Kakek masih rutin melatih fisik kamu?" Alis Nenek menajam sembari menanyakan itu. Sivan mengangguk pelan, takut menaikkan kekhawatiran Nenek. Nenek sama sekali tidak setuju dengan didikan keras ala militer Kakek. Apalagi sejak kejadian pembunuhan Sinta sepuluh tahun lalu. Sivan sempat menderita trauma hebat. Trauma itu membuatnya menjadi sering sakit jika terlalu lelah.
"Nanti Nenek akan bicara dengan Kakek lagi. Sivan tenang saja, ya."
"Sivan nggak apa-apa. Sivan baik-baik aja, kok, Nek. Buktinya sekarang Sivan masih bisa peluk Nenek. Justru latihan fisik Kakek membuat fisik Sivan bertambah kuat."
"Sini ke depan, Nenek ingin melihat wajah tampan cucu Nenek." Sivan berjalan memutari kursi roda Nenek. Ia menekuk kedua kaki di depan kursi roda wanita yang selama sepuluh tahun ini menggantikan peran Sinta. Kebetulan, latihan fisik Kakek hari ini tidak terlalu keras, karena tadi tiba-tiba langit menjatuhkan hujan cukup deras. Jadi, Sivan bisa dengan leluasa memberikan senyum manisnya di depan Nenek. Sivan tak perlu susah-susah menyembunyikan rasa lelahnya kepada Nenek.
Nenek menangkup sekali lagi kedua pipi Sivan. Memastikannya masih berisi sesuai dengan harapannya. Ternyata, dugaan Nenek benar. Sivan kembali kehilangan berat badan.
"Mulai besok, minum susunya ditambah satu gelas lagi, ya."
"Kenapa, Nek?"
"Pipi Sivan mulai tirus, Nenek tidak suka."
"Bukannnya perempuan lebih suka cowok berpipi tirus, ya, Nek?"
"Tidak juga. Nenek dan mamamu lebih suka pria dengan pipi berisi." Nenek menjepit hidung mancung Sivan, membuatnya meledakkan tawa kecil. Sivan menenggelamkan kepalanya di atas paha Nenek yang berselimut. Mendadak tubuh bocah itu menjadi lelah luar biasa mendengar Nenek menyebut kata mama. Sampai sekarang, Sivan masih sensitif mendengar seseorang membicarakan tentang Sinta.
"Sivan," Sivan kembali mendongakkan kepala menangkap wajah Nenek. Kedua mata membulat Sivan terlihat sangat indah. Nenek menjadi tidak tega untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Siv-sivan rindu ayah tidak?"
"Hmm, kalau Sivan bilang iya, Nenek pasti menangis. Tapi, kalau Sivan bilang tidak, Nenek juga pasti tidak percaya. Kalau begitu..."
"Kalau begitu?"
"Sivan lima puluh persen merindukan ayah."
"Cuma lima puluh persen?"
"Lima puluh persen sisanya buat mama." Nenek menarik kencang kepala Sivan dan menenggelamkannya di perutnya. Isakan pilu Nenek terdengar memenuhi taman. Beton dan Joe ikut tersentuh menyaksikan pemadangan dua sosok itu dari jauh. Mereka saling melempar pandang kemudian mengetik sesuatu di layar gawai masing-masing. Tidak berapa lama, Kakek terlihat bergabung dengan Nenek dan juga Sivan. Entah apa lagi yang akan pria itu lakukan kepada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...