69.

258 19 0
                                    



"Kalau diizinkan saya ingin membantu, Pak Evan." Tiga gelas teh manis hangat berjejer rapi di atas meja. Melukiskan wajah Evan, Janu, dan Ibra di lengkungan kacanya. Evan meratapi genangan wajahnya yang bergetar-getar di permukaan teh. Di sampingnya, Janu sibuk memikirkan untuk apa dan menggunakan cara apa Ibra berniat membantu mereka.

"Kebetulan saya aktif di organisasi kampus dan saya bisa menulis. Kalau boleh, saya akan membuat sebuah thread di Twitter mengenai masalah yang sedang melanda Pak Evan." Ibra mengutarakan niatnya sungguh-sungguh. Jika sudah niat membantu pemuda itu tak akan sekalipun melangkah mundur.

"Benar itu, Van. Kalau beritanya viral, mungkin itu bisa jadi jalan kamu buat membawa Sivan pulang," sela Janu.

"Di sini aku juga bersalah. Ini masalah keluarga. Tidak bisa sembarangan melibatkan banyak orang." Evan memberikan tanda-tanda penolakan.

"Banyak, kok, Pak, kasus keluarga di-up di twitter. Dan, mereka pun bisa damai karena bantuan para netizen." Ibra terus mengejar. Ia yakin Evan bersedia menerima tawarannya. "Saya nggak minta imbalan apa-apa, Pak. Saya niat ikhlas membantu. Sebagai balas budi juga karena Pak Evan kemarin menerima saya menjadi relawan di pengungsian."

"Terima kasih atas tawarannya. Tapi, sebaiknya tidak usah. Beberapa hari lagi aku akan meninggalkan Yogya dan kembali ke Jakarta."

"Van ...." Janu menatap pilu sahabatnya.

"Tolong segera buatkan layang-layang untuk Sivan, ya. Kalau bisa secepatnya. Model gapangan berbentuk burung elang dan diberi warna cokelat tua." Evan menunjukkan galeri foto tangkap layar yang menampilkan unggahan status Facebook Sivan membawa layang-layang gapangan. Walau kecewa bantuannya ditolak, Ibra akan tetap membuatkan layang-layang sesuai permintaan Evan.

Burung elang mampir di ranting pohon jati sebelah jendela kamar Sivan melihat Evan mengulang kegiatan yang sama seperti kemarin. Menyatukan jemari tangan putranya. Mengubah suhu telapak tangan Sivan yang semula dingin menjadi hangat. Lalu, menarik tirai matanya terbuka pelan-pelan. Menyaksikan wajah Evan tanpa mampu mengatakan apa-apa. Sungguh Sivan yang malang.

Evan membawa Sivan ke kamar mandi. Membantunya membersihkan tubuh menggunakan air hangat. Sivan memperhatikan wajah serius Evan menyentuh air melalui cermin. Dengan telaten, ayahnya membersihkan kakinya. Juno dibantu Janu mengambil sarapan Sivan dan obat yang telah Kakek siapkan di lantai satu. Semuanya bernar-benar dilakukan dengan sangat cepat. Entah kenapa waktu seperti berpihak pada Haris. Tanpa terasa satu jam mereka berada di sana.

Gunung Merapi tak bisa menyambut siapa saja yang mengarah ke utara. Kabut dan awan mendung menyembunyikan tubuhnya. Petir-petir menggema di puncak. Beberapa warga Gunung Merapi yang menambang pasir terpaksa harus mengundurkan diri dari sawah masing-masing. Petir bukan masalah utama. Mereka khawatir kelelahan dan tak mempunyai cukup tenaga mengindar dari banjir lahar dingin yang bisa sewaktu-waktu menyapu mereka.

Cobaan tak beranjak pergi. Gawai Renjana mati kehabisan baterai. Kepanikan membuatnya melupakan semua yang ada di dekatnya. Ia tak mengingat Anita dan meminjam gawainya untuk mengabari Janu. Sialnya lagi, pikiran Renjana baru menyuruhnya ketika mobil dikepung jutaan air langit di pinggir jalan. Renjana tak berpura-pura lagi.

"Apa perutmu kembali sakit?" Intonasi Haris terdengar khawatir.

"Tidak," jawab Renjana gugup.

"Kenapa wajahmu seperti kesakitan begitu."

"Eee ... kita mampir ke toko sebentar, ya, Kak. Aku ingin membeli bahan-bahan membuat kue. Besok akan aku buatkan Sivan cookies kesukaannya."

"Yakin kau sudah baik-baik saja?"

"Iya, Kak. Aku sudah tidak apa-apa." Renjana menciptakan senyuman panjang agar lebih meyakinkan kakaknya. Untung saja Haris langsung menurut. Sudah lama juga ia tidak membelikan jajanan kesukaan Sivan. Di perempatan yang biasanya mobil membelok ke kanan, Haris memutar kemudi dan roda mobil menggelinding ke sebelah kiri.

Tak biasanya suara gemuruh petir dan hujan membuat remaja jangkung itu gelisah. Ia bahkan harus mendekatkan diri di samping tubuh pria yang lebih tinggi agar tenang. Janu dan Juno sengaja berjaga-jaga di lantai satu. Janu yang menyadari Juno tak banyak mengeluarkan suara segera memancingnya bicara. Sebelumnya, ia melepas jaket yang dipakainya untuk disampirkan di kedua pundak remaja yang memendam kepanikan.

"Aku nggak kedinginan, Om." Juno memegang salah satu pundaknya.

"Nggak apa-apa. Pakai aja."

Remaja itu tak punya semangat untuk membantah. Kepanikannya melahirkan perasaan takut tanpa sebab.

"Sampai kapan kita akan seperti ini, Om?"

"Sampai Evan tidak putus asa lagi dan Kakek memaafkan, Evan."

"Bukannya Kakek Sivan mau membawa Sivan ke Jepang?"

"Kita pasti bisa, No. Kamu jangan ikut putus asa. Tim kita hanya tinggal aku, kamu, Anita, Beton, dan Joe."

"Kalau mau semuanya cepat, ya, lakukan sekarang saja, Om. Kalian bisa bawa paksa Sivan ke Jakarta."

"Sebentar ...." Janu menahan perbincangan yang mulai memanas. "Kamu mendengar sesuatu?"

"Suara mobil. Sepertinya Kakek Sivan sama Opa Jana sudah pulang." Juno justru bersyukur mereka datang. Ia sudah lelah mengikuti permainan sembunyi-sembunyi seperti ini. Kasihan Sivan yang sudah lama menanti. Kenapa orang dewasa suka mementingkan keegoisan mereka masing-masing.

"Saatnya kita perang lagi, Om," ucapnya melihat Janu melompati anak tangga dua-dua. Menuju ke kamar Sivan. "Tuhan, tolong beri kelancaran untuk semuanya. Sivan hanya ingin bertemu ayahnya." Juno mengambil napas dalam, bersiap menghadapi apa pun yang terjadi nanti. Ia telah melihat Kakek membanting pintu mobil dan berlari menerobos hujan di halaman rumah.

Bara kemarahan Haris mengobarkan api mendapati mobil sedan berplat B berhenti di depan garasinya. Ia tahu betul siapa pemiliknya. Berjalan sambil mengumpat, Haris meninggalkan Renjana yang masih berada di dalam mobil. Renjana terlihat pasrah. Mau melakukan rencana B rasanya sia-sia. Tak ada yang bisa mengendalikan Haris ketika dikuasai amarah. Kekhawatirannya sejak pagi benar-benar terjadi. Pria itu berharap semoga Haris tak menghabisi Evan kali ini.

"Keluar kau, Evan!!!"

Teriakan dari bawah menghentikan tisu yang sedang Evan gunakan untuk mengelap sudut bibir Sivan. Kepalanya berputar cepat mendrngar Janu mengetuk pintu kamar kesetanan. Evan sengaja menguncinya dari dalam agar lebih bisa leluasa menghabiskan waktu bersama putranya. Ia kembali menangkap wajah pucat Sivan. Menyentuh dagu sang putra, mengarahkan tatapan kosongnya agar menatap sepasang mata elang miliknya.

"Sivan ... Sivan ... Sivan ...." Tiga kali suara yang telah lama Sivan rindukan itu memanggilnya. Hati Sivan terasa diremat mendengarnya. Kedua mata sayunya bergerak gelisah menatap wajah basah sang ayah. Evan menunduk menyembunyikan air mata yang semakin membanjiri wajahnya.

"Di Jepang Sivan harus selalu sehat. Sivan harus lanjut kuliah dan jadi orang hebat ...." Evan menerbitkan wajah. Mendekatkan kepalanya ke depan. Meletakkan dagunya di pundak kanan sang putra. Sebuah sengatan aneh menuntun Sivan menggerakkan bibir.

"Sivan harus hidup bahagia di sana. Maaf, ayah sudah buat kamu banyak menderita."

"Ya ... Yah ..." Panggilan lirih Sivan lepaskan.

Kakek menendang pintu kamar. Tak langsung memberikan pukulan. Tetapi menarik paksa kerah Evan hingga robek. Kelopak Sivan melebar menyaksikan tubuh Evan diseret Haris keluar kamar. Sengatan aneh itu kian menjalar, menggerakkan kedua lengannya ke atas. Sivan merasakan kedua telapak tangannya kebingungan. Lantas ia kaget mendapati kursi roda kosong bediri di depannya. Sivan mencoba bangun. Ia berpegangan pada pinggiran tempat tidur. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang