6.

1K 121 1
                                    

"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan Evan membuat Sivan bergegas bangun dari sofa. Beringsut memundurkan dirinya dengan ekspresi terkejut. Bagaimana bocah itu tidak ketakutan. Saat ini Sivan dikepung oleh empat orang pria dewasa berbadan kekar semua. Yang paling membuat Sivan takut justru Evan. Pria itu memakai masker berwarna hitam pekat yang mengingatkannya kepada beberapa orang. Para perampok yang dulu melukai Sinta hingga tiada.

"Tenang-tenang. Kami bukan orang jahat," hibur Beton mencoba mengendalikan emosi Sivan. Saat ini tubuh dialah yang paling dekat dengan Sivan.

"Iya, kami berempat anggota relawan Gunung Merapi yang bertugas di sini." Joe ikut-ikutan bicara. Ia lantas menyentil puntung rokok di jari kirinya, karena mendapat isyarat jangan merokok dari mata Evan. Janu ingin ikut berbicara juga. Namun, ia mendapatkan ide bagus. Telapak tangannya mendorong kuat punggung Evan. Membuatnya mendekat beberapa langkah ke tempat Sivan.

"Kenapa saya bisa ada di sini? Anda semua siapa? Saya nggak diculik, kan?" paniknya. Ternyata Sivan korban drama sinetron seperti Sinta.

"Hahaha!!!" Janu, Beton, dan Joe kompak terbahak-bahak. Evan hanya tersenyum kecil sambil terus mengamati tubuh dan wajah Sivan. Pria itu ingin memastikan jika keadaan Sivan sudah baik-baik saja dan tidak ketakutan. Ia tidak terbiasa menenangkan seseorang yang ketakutan. Karena selama ini yang Evan lakukan justru membuat orang lain ketakutan.

"Tidak. Tenang saja, kamu sedang tidak diculik." Evan sukses duduk di samping Sivan. Ia masih terlalu senang sang putra kini ada di depan kedua matanya. Janu memberi isyarat kepada Beton dan Joe untuk meninggalkan vila. Mereka berdua berjalan meninggalkan Evan dan Sivan disusul Janu. Sebelum meninggalkan Evan, Janu sempat menepuk punggung Evan sekali lagi. Mengirimkan isyarat supaya memanfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.

Melihat tiga orang lain pergi meninggalkan ruangan, lajur napas Sivan melega. Ketakutannya sedikit berkurang. Namun, kini Sivan merasa tidak nyaman dengan tatapan pria bermasker hitam di depannya.

"Maaf. Ini tempat apa, ya?"

"Vila."

"Saya ... saya mau pulang."

"Tenang dulu, oke? Om akan menjelaskan ke kamu kenapa bisa ada di sini."

"Baik, Om."

"Tadi di perjalanan menuju ke salah satu posko pengungsian Gunung Merapi, om melihat kamu pingsan di jalan. Teman kamu menyuruh Om membawamu ke Klinik Kartika. Dia tidak bisa ikut, karena kakaknya akan melahirkan. Waktu kamu sadar tadi, kamu malah menangis histeris. Dokter yang menangani kamu sampai memberimu obat penenang."

"Saya takut sama suasana rumah sakit, Om." Sejenak Evan memberi jeda untuk melanjutkan.

"Om belum tahu alamat rumah kamu, jadi om membawa kamu ke vila ini. Vila ini tempat penginapan sementara om dan ketiga teman om tadi," tambah Evan. Sivan setia diam. Bukan karena mencerna ucapan Evan. Melainkan karena nada suara Evan. Evan lupa menyamarkan suaranya. Saking bahagianya ia bertemu Sivan, ia menjadi pelupa. Sivan merasakan sebuah sensasi perasaan mendengar suara berat Evan.

"Om bersumpah tidak apa-apain kamu."

"Maaf sudah mencurigai Om dan teman-teman, Om." Bibir Evan kembali mencetak garis lengkung. Tanpa sadar mendaratkan telapak tangan besarnya ke bagian atas kepala Sivan. Lagi, Sivan merasakan sensasi aneh. Perasaan sentuhan tidak asing. Sentuhan yang terasa seperti aliran listrik. Membuat hati Sivan memunculkan rasa rindu akan kehadiran seseorang.

"Nama kamu Sivan, kan?"

"Juno yang ngasih tahu Om, ya?"

"Benar. Salam kenal Sivan, aku Ivan. Salah satu relawan Gunung Merapi yang bertugas di sekitar sini." Evan menawarkan tangannya untuk Sivan genggam. Sivan menyalami Evan tanpa ragu. Remaja itu merasa aman mendengar kata relawan.

"Makasih Om Ivan. Boleh saya pulang sekarang? Kakek saya pasti sangat khawatir mencari saya."

"Temanku sudah menghubungi Kakekmu. Maaf, tadi aku membuka HP-mu untuk mencari tahu nomornya. Beliau menyuruh kami membawamu pulang kalau keadaan kamu sudah benar-benar sembuh. Kakekmu sangat perhatian sama kamu."

"Tapi, beliau juga sangat tegas kepada saya."

"Tegas? Tegas bagaimana?" Evan terkejut dengan perkataan Sivan barusan. Putranya tiba-tiba mengatakan itu dengan air muka yang penuh beban.

"Nggak gimana-gimana, Om, Tolong antar saya pulang sekarang saja, Om."

"Memang Om yang akan mengantar kamu pulang." Sivan mengangguk sembari tersenyum manis. Ia mulai menurunkan kedua kakinya yang semula menekuk di sofa. Mulut tipis Sivan sedikit miring merasakan dinginnya lantai vila Evan. Ditambah lagi, kedua kaki Sivan masih terasa lemas karena obat penenang yang Dokter Anita berikan. Evan kembali menyadari perubahan wajah Sivan. Ia memberikan kedua lengannya untuk dijadikan alat berpegangan.

"Kuat berjalan tidak?"

"Belum, Om, hehe." Evan berbalik badan. Kedua kakinya menekuk sembari memberikan punggung lebarnya kepada Sivan. "Naik ke punggung, Om. Om gendong kamu sampai ke mobil."

Dokter yang rutin datang untuk mengecek kondisi Nenek, beberapa jam yang lalu ditahan Kakek untuk tidak pulang. Ia diminta Kakek untuk menunggu sampai Sivan tiba. Selama hampir tiga jam mereka menunggu kepulangan Sivan. Beberapa saat yang lalu seseorang menelepon, memberitahukan keadaan Sivan. Mengetahui cucunya sudah dibawa ke sebuah klinik, barulah sang dokter dipersilakan pulang. Kini, kakek duduk di ruang tamu masih setia menunggu kepulangan Sivan.

Suasana sangat senyap di dalam mobil jeep. Sivan tidak kunjung berani untuk mengajak Evan berbicara. Padahal Sivan sudah percaya jika Ivan adalah orang yang tidak jahat. Sementara Evan memilih diam, namun konsisten melirik ke kiri untuk melihat wajah sang putra. Ia benar-benar berterima kasih kepada Tuhan. Evan masih tidak mengira bisa bertemu dan bersama dengan anaknya.

"Om pakai parfum Ambre Topkapi, ya?"

"Kok, kamu tahu?"

"Ayah saya dulu suka memakai parfum itu." Evan menginjak rem jeep. Hanya beberapa detik. Kemudian ia menancap gas kembali dengan normal.

"Maaf, tadi ada kucing tiba-tiba menyeberang."

"Nggak apa-apa, Om," jawab Sivan masih menepuk-nepuk dada, menghilangkan kekagetan. Bibir Evan kembali melengkung di dalam masker. Ia membetulkan masker yang tidak lagi menutupi hidungnya dengan benar.

"Ayahmu pasti orangnya sangat keren."

"Tidak hanya keren. Ayah saya juga tampan."

"Hahahaha!"

"Om bertugas di posko pengungsian mana?"

"Di sekitar wilayah Kaliurang."

"Oh, Kaliurang. Waktu Gunung Merapi meletus besar tahun 2010 Om juga berada di sana?"

"Belum. Om baru mendirikan organisasi relawan setelah letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 2010."

"Boleh tahu Om dari organisasi relawan apa?"

"Nanti kalau kita bertemu lagi, Om akan kasih tahu kamu."

Ketika Sivan sampai di depan pintu rumah, Kakek menarik lengan Sivan sangat kencang. Ia terlihat mengajak bicara Sivan sebentar kemudian mendorong punggung Sivan untuk segera masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi dorongan yang terlihat sangat kencang. Jika tubuh Sivan masih lemas, mungkin ia akan dengan mudah jatuh membentur pintu. Memikirkanitu, membuat Evan tidak kunjung menghidupkan mesin jeep. Ia masih melihat rumah Kakek Sivan dengan mata menyala dari jauh.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang