106. My Woman

15.3K 795 28
                                    

Lauren menatap rintik – rintik hujan yang jatuh tepat di balik jendela kamarnya. Jari telunjuk wanita itu bergerak untuk membentuk pola – pola abstrak tepat di atas jendela kaca itu.

Saat ini, Lauren merasa pikirannya sangat kacau. Kedatangan Edward dan ayah Lauren kembali ke dalam hidupnya berhasil membuat Lauren kembali kacau.

Drrt... drrt... drrt...

Suara getaran ponselnya menyentak Lauren dari lamunannya. Mata birunya yang sedari tadi memandang lurus ke balik jendela kamarnya bergerak untuk menatap ponselnya yang terletak tak jauh dari jangkauannya.

Lucia.

Tanpa menunggu lama, Lauren langsung mengangkat panggilan itu ketika ia menemukan nama Lucia yang tertera di layar pipih ponselnya.

"Halo. Ada apa Lucia?" tanya Lauren to the point sembari kembali memfokuskan pandangannya ke rintik – rintik hujan yang terlihat sangat menenangkan itu

"Nona, sepertinya aku akan pulang larut. Saat ini mobilku sedang rusak dan aku masih berada di bengkel"

Rasa khawatir langsung menyerang Lauren ketika ia mendengar ucapan Lucia

"Apa kau akan baik – baik saja? Apa aku perlu menelpon Michelle dan menyuruhnya untuk menjemputmu?" tanya Lauren khawatir yang dibalas dengan sebuah tawa renyah kecil dari Lucia

"Nona, aku bukan anak kecil lagi. Aku akan baik – baik saja. Tak perlu menelpon Michelle, mungkin ia masih sibuk berkencan dengan wanita barunya" ucap Lucia ringan seolah – olah ia tak memiliki masalah jika Michelle bersama dengan wanita lain, padahal Lauren tau, wanita itu pasti merasa sakit hati

"Lucia..." panggil Lauren dengan nada lembut karena ia sadar bahwa Lucia baru saja berpura – pura tegar

"Nona, panggilan ini akan kuputus. Ah iya, nona juga tak perlu menungguku untuk makan malam"

Balasan Lucia itu membuat Lauren menghela nafasnya dengan kasar. Lagi, lagi, ia harus mengalah dengan seorang wanita hamil

"Baiklah. Jika ada sesuatu, jangan lupa untuk menghubungiku atau Michelle"

"Baik nona. Selamat tinggal"

"Selamat tinggal"

Tut.

Panggilan diputus secara sepihak oleh Lucia.

Setelah panggilan itu terputus, Lauren memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Saat ini, wanita itu berniat untuk memasak makan malam. Sebelum Lauren benar – benar pergi dari kamarnya, tangan lentiknya bergerak untuk menarik tirai penutup jendela kamarnya itu.

Lauren melangkahkan kaki telanjangnya dari kamarnya menuju ke dapur rumah itu. Di dapur, Lauren dengan cekatan menyiapkan beberapa bahan untuk makan malamnya. Karena Lucia tak akan makan malam bersamanya, Lauren pun memutuskan untuk memasak mie instan dengan telur mata sapi, makanan yang sangat dijauhkan oleh Lauren dari Lucia.

Tak perlu menunggu waktu lama, kini sepiring mie instan kuah dengan sebuah telur mata sapi di atasnya sudah tersedia. Asap yang mengepul dari atas mie instan itu sejenak membuat Lauren melupakan masalah yang sedari tadi mengacaukan pikirannya.

Dengan langkah santai, Lauren melangkahkan kedua kakinya menuju ke meja makan. Lauren menarik salah satu kursi yang berjejer di meja makan kayu itu dan menghempaskan bokongnya di atas kursi yang baru saja ditariknya itu.

Sebelum Lauren memasukkan mie instan yang terlihat sangat menggugah selera itu ke dalam mulutnya, wanita itu memutuskan untuk melipat tangannya dan berdoa. Berdoa merupakan hal yang sudah menjadi kewajiban Lauren semenjak ia tinggal di Barcelona, karena dengan berdoa, Lauren merasa sedikit demi sedikit bebannya terangkat dan hal itu sangat berguna untuk membantu kesehatan mentalnya.

In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang