124. Monster

14.1K 639 92
                                    

Lauren menatap pusara yang ada tepat di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kedua mata wanita itu masih terlihat sangat sayu dan memancarkan rasa tidak semangat yang luar biasa. Kejadian menyeramkan yang terjadi dua minggu yang lalu itu masih saja menghantui Lauren disaat wanita itu menutup kedua matanya.

Edward Dominguez – Sanz.

Nama itu terpahat dengan begitu tegasnya di atas batu granit berwarna hitam yang ada di pusara itu.

Lauren menggenggam erat buket bunga lily putih yang ada di tangannya. Dengan langkah bergetar, Laure mendekati pusara itu dan meletakkan buket bunga lily putih itu tepat disamping batu granit yang ada di atas pusara itu.

Sekuat tenaga, Lauren menahan dirinya untuk tidak larut lagi dalam emosi. Lauren menyempatkan dirinya untuk mengelus lembut batu granit itu, sebelum ia kembali menegakkan tubuhnya dan kembali menatap pusara itu.

"Mungkin... memang ini jalan yang terbaik untuk kita" ucap Lauren pelan sembari tersenyum miris

Tik.

Sebuah tetesan hujan mengenai tubuh Lauren. Sontak wanita itu mendongakkan kepalanya dan menatap langit yang sudah berwarna kehitaman. Suara gemuruh mulai terdengar di area pemakaman elite yang berada di Madrid itu.

Lauren menutup matanya dan menanti tetesan – tetesan hujan lainnya yang mungkin akan jatuh membasahi tubuhnya. Namun, sebelum tetesan – tetesan hujan itu membasahi tubuhnya, Lauren merasakan keberadaan benda asing di atas tubuhnya.

Lauren membuka matanya dan ia bisa melihat dirinya kini tengah dipayungi. Tanpa bertanya pun, Lauren tau siapa pemilik payung itu.

"Nyonya, kita harus kembali. Masih ada hal penting yang sedang menanti kita"

Lauren menarik garis senyumnya ketika ia mengingat hal penting yang sedang menantinya saat ini. Wanita itu melemparkan tatapan tegasnya kepada di pemilik payung.

Seolah – olah tau apa yang harus dilakukannya, pria bertubuh kekar serta berjas kaku itu langsung menyodorkan tangannya untuk diapit oleh Lauren.

"Mari, nyonya"

Lauren menganggukkan kepalanya dan mengulurkan tangannya dengan gerakan elegan untuk mengapit tangan kekar itu.

Lauren dan pria itu kemudian berjalan menuju ke sebuah mobil yang tak jauh dari posisi mereka saat ini. Sekuat tenaga, Lauren menahan dirinya untuk tidak menolehkan kepalanya dan menatap kembali pusara itu.

"Terimakasih, Alan" ucap Lauren saat tubuh wanita itu sudah memasuki mobil mahal itu tanpa terkena rintik – rintik hujan yang mulai semakin deras

"It's my pleasure" ucap Alan sembari tersenyum sopan dan menutup pelan pintu mobil itu

Saat mobil itu mulai berjalan dan meninggalkan area pemakaman tersebut, Lauren menghela kecil nafasnya dan merilekskan punggungnya yang mulai terasa kaku pada kursi mobil itu.

Lauren menutup matanya dan mulai mengingat – ingat betapa kejamnya garis takdir yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan kepadanya. Tuhan merebut semua orang yang sangat dicintai oleh wanita itu, tapi Tuhan tak pernah mau membiarkan wanita itu untuk ikut bersama dengan orang – orang yang sangat dicintainya itu.

Awalnya, Lauren ingin mengutuk Tuhan atas garis takdir gila ini, namun lama kelamaan, Lauren sadar bahwa semua ini terasa benar. Tuhan merebut orang – orang yang dicintai oleh Lauren dan membiarkan Lauren tetap hidup agar Lauren dapat membalaskan dendam orang – orang itu dan menguak semua hal – hal busuk yang selama ini sudah menghantui kehidupan mereka.

"Nyonya, kita sudah sampai"

Kedua kelopak mata Lauren yang sedari tadi tertutup langsung terbuka secara perlahan. Wanita itu menolehkan kepalanya ke samping dan ia bisa menemukan rumah megah yang ada di balik kaca mobil mewah ini.

In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang