120. Forgive Me

14.3K 713 75
                                    

Keringat dingin membasahi dahi Edward. Nafas pria itu yang terdengar terengah – engah di dalam tidurnya, seolah - olah hendak mengatakan bahwa saat ini pria itu sedang mengalami mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk.

Dahi Edward dihiasi sebuah kerutan yang sangat dalam, wajah pria itu menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Sepertinya, pria itu sedang berusaha untuk bangun dari bunga tidur yang terlihat mengerikan itu.

Deg.

Akhirnya, setelah lama bergelut dengan mimpi buruk itu, Edward dapat membuka kedua matanya. Kedua mata yang beririskan coklat gelap itu memancarkan aura takut yang luar biasa.

Tanpa memperdulikan nafasnya yang masih terengah – engah karena mimpi buruk yang terlihat nyata itu, Edward langsung menolehkan kepalanya dengan tergesa – gesa ke seluruh penjuru kamar yang saat ini ditinggalinya.

Kamar itu terlihat lebih rapi daripada tadi malam, namun nampaknya hal itu tak mengusik Edward. Pria itu tak memusingkan jika para pelayan yang seharusnya tidak memasuki kawasan rumah ini tanpa perintah Edward, akhirnya bergerak sendiri untuk membersihkan kekacauan tadi malam. Pria itu malah memikirkan hal lain.

Lauren!

Jantung pria itu berdegub dengan kencang. Dengan gerakan cepat, pria itu menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya dan langsung bangkit dari posisi tidurnya

"Lauren!" panggil Edward dengan perasaan takut yang luar biasa.

"Lauren... kau di dalam kan, sayang?" tanya Edward sembari menatap pintu kamar mandi di dalam kamar itu yang terlihat tertutup rapat

Tiba – tiba saja, rasa takut dan panic menyerang pria itu. Tangan pria itu terasa lebih dingin dan sedikit bergetar. Pria itu tak pernah setakut ini di dalam hidupnya.

Krek!

Tangan pria itu bergerak untuk mendorong pintu itu. Harapan bahwa istrinya tengah membersihkan diri di dalam ruangan itu langsung menguap seketika. Kamar mandi itu terlihat kosong.

"Lauren!"

Edward kembali memanggil nama wanita itu dengan suaranya yang terdengar sangat menggelegar. Nafas pria itu semakin tak beraturan.

Baru saja pria itu hendak melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar itu, namun kedua netra coklat gelap pria itu tanpa sengaja menatap sebuah kertas yang dilipat rapi di atas sebuah meja rias. Kaca di meja rias itu sudah hancur dan tak berbentuk lagi dan tanpa perlu bertanya pun, Edward tau bahwa istrinya sudah melampiaskan kemarahannya kepada kaca itu.

Karna tak ingin membuang – buang waktu lagi, Edward melangkahkan kakinya dengan tergesa – gesa menuju ke meja rias itu. Pria itu langsung menarik kasar kertas itu yang berada tepat di bawah sebuah gelas kosong. Nampaknya, pria itu tak memikirkan bagaimana jika akhirnya gelas itu jatuh dan pecah.

Untuk Edward.

Keringat dingin langsung menjalari dahi serta kedua telapak tangan kekar Edward ketika ia membaca kalimat pembuka dari surat itu. Dengan cepat, Edward kembali melipat kasar surat yang baru saja dibacanya tersebut. Pria itu terlalu takut dengan pikirannya sendiri yang mengatakan bahwa surat itu adalah surat perpisahan.

Untuk beberapa saat, Edward hanya meremas surat itu dengan perasaan gundah. Hati dan otaknya berdebat hebat. Untuk seperkian detik, pria itu menutup matanya dan akhirnya memantapkan dirinya untuk kembali membuka dan membaca surat itu

Dengan jantung yang sudah berdegub sangat keras karna rasa takut menguasai dirinya, Edward memilih untuk kembali membaca surat itu.

Mungkin, saat kau sedang membaca surat ini, aku sudah tidak ada lagi di sisimu.

In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang