70. Cries and Kisses

17.7K 812 114
                                    

Lauren menatap langit kota Livorno dari atas yacht dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata Lauren menatap matahari yang mulai malu – malu menunjukkan keberadaannya. Jika saja Lauren tidak dalam keadaan kecewa seperti ini, mungkin panorama langit di pagi hari ini pasti akan menyimpan kenangan indah tersendiri di dalam hati Lauren.

Langit yang berwarna biru, matahari yang mulai menunjukkan keberadaannya, burung camar yang mengepakkan sayapnya dengan bebas di langit serta suara deru ombak laut Spiaggia di Cavoli merupakan perpaduan yang sangat indah. Namun, saat ini Lauren tak bisa menikmati keindahan itu.

Dari langit malam yang bertabur bintang, hingga langit pagi yang dihiasi oleh matahari, pria itu tak kunjung juga datang.

Lauren kecewa. Ia sangat kecewa pada pria itu dan pada dirinya sendiri. Lauren kecewa karena ia bisa mempercayai pria yang sudah jelas – jelas tidak menginginkan kehadiran Lauren dalam hidupnya. Namun, Lauren lebih kecewa lagi pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia meneguhkan hatinya dan mendoktrin hatinya dengan mengatakan jika pria itu akan datang?

Tes.

Air mata Lauren menetes

Sudah lebih dari 5 jam, pria itu meninggalkannya. Pria itu berkata jika ia akan kembali, tapi nyatanya tidak.

Lauren seharusnya paham, dibandingkan dirinya, pria itu pasti lebih menyenangi Claudia. Claudia adalah wanita baik yang cantik dan memiliki tutur kata yang sopan, tidak seperti Lauren. Lauren adalah wanita yang tak baik, ia juga tak pernah sopan kepada siapapun. Seharusnya Lauren sadar, sampai kapanpun, dirinya tak akan pernah mendapatkan pria berkuda putih yang sudah ditakdirkan untuknya.

Tes.

Lagi, air mata Lauren kembali menetes untuk alasan yang sama. Edward Caesar Dominguez – Sanz. Suaminya yang tak akan pernah memberikan cintanya kepada Lauren

"Edward... aku sangat hancur. Aku sangat kecewa..." ucap Lauren lirih sembari menundukkan kepalanya

Ia sudah tak bisa menahan tangisannya lagi. Punggungnya bergetar hebat dan isakan – isakan kecilnya mulai terdengar.

Ia sudah tak tahan lagi dengan semua ini.

Ia tak tahan dengan Edward yang selalu mempermainkan kepercayaannya, ia tak tahan dengan Alan yang meninggalkannya sendirian, ia tak tahan dengan dokter Lucia yang mengatakan bahwa dirinya akan baik – baik saja, ia tak tahan dengan Loco yang sudah mengajarkannya menjadi wanita yang kasar dan... ia tak tahan dengan dirinya sendiri.

Ia tak tahan dengan dirinya yang selalu saja berpura – pura tegar dan selalu berharap bahwa dibalik semua penderitaannya ini akan ada sesuatu yang indah.

Lauren tak tahan

"Hei... butuh tissue?"

Suara isakan Lauren berhenti ketika dirinya mendengar suara seorang pria yang terdengar familiar di ingatannya.

Lauren sedikit mengangkat kepalanya dan ia bisa melihat sebuah tangan kekar sedang menyodorkan sebuah tissue ke hadapannya. Pandangan Lauren menjalar dari tangan pria itu menuju ke wajah pria itu.

Sebuah kernyitan menghiasi dahi Lauren ketika dirinya menatap wajah pria pemberi tissue itu. Ia seperti pernah bertemu dengan pria itu, tapi dimana?

Berbeda dengan Lauren yang binggung, pria itu malah terkejut.

"Lauren?" tanya pria itu untuk memastikan

"Ya..?"

"Oh, astaga!!!" ucap pria itu setengah memekik

"Apa kita pernah bertemu?" tanya Lauren binggung karena wajah pria ini terlihat samar – samar di dalam tumpukan ingatan Lauren

In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang