BAB 54
Langkah yang tadinya bergerak santai, tiba-tiba saja melambat kala pria dengan topi hitam serta masker yang menutupi mulutnya, mendekat ke arah Royan. "Papa?"
Rendra Yashtanto, berjalan menunduk menghampiri sang anak sebelum sebuah pertanyaan terlontar dari Royan. "Papa kenapa bisa ada di sini? Nanti kalau temen-temen aku tahu---"
"Papa udah pake masker sama topi, mereka gak mungkin ngenalin Papa."
Seharusnya, beberapa murid yang saat ini tengah berlalu lalang di koridor, tidak mengenali dirinya sebagai ayah dari Monika. Jika ada satu saja yang menyadari hal itu, Royan pasti akan kena amarah dari sang kakak.
"Papa ngapain ke sini? Kelas Monika kan ada di lantai dua."
"Papa bukan mau jemput Monika, tapi Papa mau jemput kamu," ujar Rendra, begitu pelan sembari celingukan, mengamati sekitar karena was-was.
Royan mengernyit, bingung. "A-aku? Tumben banget."
Tak mau lagi mendengar pertanyaan dari Royan, Rendra segera menarik pemuda itu untuk mengikutinya. Menjauh dari sana, secepat mungkin. "Kita ke markas, sekarang."
Royan hanya bisa menurut dengan berjalan di belakang sang papa, sembari menunduk, seakan takut jika ada murid yang kecolongan mengenali Rendra dengan pakaian serba hitamnya.
"Ayo, Roy." Keduanya semakin mempercepat langkahnya agar segera tiba di parkiran.
Melihat jeep yang terparkir tak jauh dari pelupuk matanya, membuat Royan sedikit lega lantaran sebentar lagi ia akan segera menjauh dari area sekolah tanpa menunduk takut pada tatapan intimidasi murid lain.
Mereka pun naik, bahkan langsung melaju. Perjalanan untuk sampai ke 'markas' yang dimaksud Rendra, memang cukup jauh. Kendaraan roda empat itu harus menepi terlebih dahulu dari pusat kota agar bisa sampai pada sebuah bangunan yang jangkauannya cukup jauh.
Di sana, di pabrik tua yang dulunya pernah jaya di era 80-an, kini beralih fungsi menjadi markas besar dan gudangnya para bandar serta pengedar narkoba berkumpul.
Bukan hanya bandar, se-kelompok geng motor yang mendukung Rendra juga sering berada di sana. Termasuk geng motor dengan pin kepala singa.
Royan turun setelah Rendra mematikan mesin jeep-nya. Pertanda sudah sampai di tempat.
Pikirannya tak enak, gelisah tiba-tiba saja mulai menggeluti dirinya. Acap kali Royan menoleh ke belakang, sebelum Rendra memanggil pemuda itu berulang kali.
"Ah.. mungkin perasaan gue aja kali."
Mengenyahkan pikirannya mengenai orang yang diam-diam mengikutinya dari belakang, Royan lantas beranjak dari sana. Ikut berkumpul dengan orang-orang yang kini menyambut baik kehadiran Rendra.
"Rendra Yashtanto, sang miliarder kita telah datang."
"Cerah amat tuh, muka. Kelihatannya baru aja dapat rejeki nomplok, nih?"
Rendra tersenyum miring, "Yah.. biasalah, hari ini tembus lima ratus juta."
"Gila! Sadis juga ternyata bandar satu ini," sahut pria berkepala plontos yang duduk sembari meminum wine-nya.
"Itu baru satu orang, belum orang kedua, ketiga, dan masih banyak lagi."
Rendra patut berbangga dengan pencapaiannya selama ini. Hanya dalam hitungan jam, penghasilannya hampir menyentuh angka miliaran.
"Gokil."
Royan hanya bisa terdiam, ia sudah biasa mendengar Rendra membanggakan uang hasil penjualan barang haram tersebut. Nominalnya memang tak main-main, tapi konsekuensi di balik itu semua yang terkadang membuat Royan ragu setiap kali menjawab pertanyaan demikian, "jadi, ini yang bakal jadi penerus lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA DANIA ✅
Teen FictionJika tidak diadakannya razia dadakan dari dewan guru beserta anggota BNN, mungkin Dania tidak akan mengetahui bila salah seorang teman dekatnya kedapatan membawa paket terlarang, yaitu narkoba. Semua kedekatan bermula dari sana. Atas rasa penasaran...