[35.] Malam Syahdu dan Air Yang Sejuk

3.6K 72 5
                                    

"Lepas kainnya Rai." kata Safina yang sudah lebih dulu bertelanjang.

"Eh? Emang harus gitu?" tanyaku.

"Nggak apa-apa koq, nggak akan ada yang memperhatiin juga." sambung Safira.

"Ah, aku kayaknya di sini aja deh, kalian aja yang mandi." kataku.

Aku segan untuk ikut masuk ke dalam kolam, walaupun rasanya aku juga begitu penasaran untuk bisa menikmati berenang-renang di kolam tersebut. Tapi bukan karena aku bernafsu dengan wanita-wanita telanjang di sana—tidak seperti itu sama sekali. Aku sungguh hanya penasaran ingin merasakan bagaimana rasanya berenang di kolam yang katanya mempunyai nilai mistis dan magis tersebut. Tapi aku sadar, tempat suci ini bukan untukku, ini adalah zona kawasan milik kaum wanita. Yang namanya kawasan khusus wanita aturan dasarnya sudah jelas; zona terlarang buat yang berkelamin batangan.

"Eh, tapi nggak boleh Rai, kalau udah di sini ya harus jalanin upacaranya. Kamu harus ikut mandi." kata Safina.

"Ya, kalau nggak ritualmu tidak sah dan kamu bakal dapat sial sepanjang tahun." sambung Safira.

"Huh ... pada percaya takhyul sih." celetukku.

"Ih, terserah, percaya ga percaya deh." balas Safina.

Kedua anak kembar itu langsung bekerja sama untuk menarik dan merebut kain satu-satunya yang menutup tubuhku.

"kyaaa—Finaaa! Balikin kain gue!!" aku berteriak sambil jongkok menutup tubuh.

"Nggak boleh, kamu harus mandi. Kita udah jauh-jauh sampai ke sini, kita datang bareng-bareng, mandi bareng-bareng dan kita juga akan pulang bareng-bareng." kata Safina.

"Ya udah, tapi gue nggak perlu telanjang kan." kataku.

"Nggak bisa Rai, ada aturannya, tidak boleh ada apapun yang menghalangi tubuh untuk bersentuhan langsung dengan air di kolam, jadi ya harus telanjang bulat." kata Safina.

"Aturan dari mana itu?" kataku.

"Ya emang gitu aturannya, lagian kan ini acara khusus cewek." balas Safina.

"Lha gue kan masih cowok." kataku.

"Ya udah, umpetin barang lu, lipet ke belakang." kata Safira.

"Duh, kenapa jadi repot gini." kataku sambil menggerutu.

Untungnya ukuran burungku yang mungil memudahkanku untuk melipat ke bawah dan menyembunyikannya di antara jepitan selangkangan di bawah testisku. Burungku jadi lenyap tak terlihat, tapi aku jadi agak susah melangkah karena harus berjalan sambil merapatkan kakiku.

Daerah pubisku jadi terlihat seperti seakan mirip lipatan vagina.

"ixixixixi—tuh kan ilang." kata Safira. "ih, lucu. Beneran kayak punya memek aja."

"aiih—seksi lho, kalau beneran punyamu rata," kata Safina, "mudah-mudahan deh aja jadi ilang beneran." kata Safina lagi.

Aku jadi membayangkan, begini rupanya kalau seandainya kontolku hilang dan bagian bawahku rata. Terlihat aneh, tidak lazim dan tidak biasa. Tapi kenapa malah aku jadi terus membayangkan sambil terus memperhatikan tubuhku sendiri.

"Eh ... biasanya apa yang kita bicarakan dari hati itu bisa jadi kenyataan lho." kata Safira.

"Ah, masa bisa beneran ilang?" kataku yang langsung membuyarkan imajinasiku.

"Tapi—sumpah Rai kalau lihat wujud, rupa fisik juga sifat kamu sekarang. Sebenarnya kamu tinggal OP kelamin aja udah cewek tulen deh kamu." kata Safina.

"aaah—jangan doonk Fin." kataku yang memelas.

"Kenapa jangan!?" kata Safina, "ini malam yang sakral, apa aja bisa terjadi."

"ah ... Fina. Boong ah," kataku yang berusaha denial, "itu takhyul kan?? masa iya, ga mungkin lah?—eh?—iya kan??" Sebenarnya aku bukan tipe yang percaya takhyul atau hal magis, gaib dan sejenisnya, tapi, entah kenapa aku takut juga kalau sampai hal itu terjadi.

Safina lalu berlari dan masuk ke dalam air. Ia berenang-renang mengejar Safira dan mereka pun asyik berdua.

Ah ... kalau aku tidak percaya takhyul buat apa aku takut berenang di tempat ini, pikriku dalam hati. "Maafkan aku putri Sange, mudah-mudahan aku tidak menodai kesucian tempat ini, karena aku satu-satunya cowok di sini." ucapku dengan berbisik—walaupun aku bilang diriku tidak percaya hal gaib tapi tetap saja aku minta ijin dengan siapapun penunggunya tempat ini.

Perlahan aku pun melangkah masuk ke dalam kolam. Dan rasanya, ah ... sejuk dan sungguh harum aroma air alami pegunungan. Air nya memang terasa begitu dingin tapi tidak membuat menggigil, malah terasa sejuk dan nyaman.

Aku langsung euforia menikmati berenang-renang sendiri, ke sana kemari begitu puasnya, menyelam selama mungkin yang aku mampu sampai nafasku benar-benar habis. Sungguh luar biasa rasanya bermandi di alam terbuka, sebuah sensasi tersendiri untuk bisa menyatu dengan alam. Aku tak mempedulikan sekitarku, aku hanya asyik menikmati sendiri. Begitu pula para gadis-gadis di sekelilingku pun juga tidak ada yang mempedulikanku, mereka asyik sendiri.

Suasana malam terasa semakin nikmat, indah dan syahdu.

Air kolam yang sangat sejuk itu benar-benar terasa begitu nyaman, rasanya betah sekali berlama-lama, aku merasa tidak puas-puasnya berenang menyelam berkali-kali.

Hingga aku pun merasa lelah dan mojok ke bawah pancuran alami yang ada di tepi kolam, kunikmati air yang mengguyur kepalaku. Sejenak rasanya seperti masalah-masalah hidupku larut dibawa oleh air yang mengalir.

"Rai!!" suara Arini menyadarkanku. "Seru kaan ... asyik ya." katanya padaku.

"Eh, iya." kataku.

Arini ikut menyandar di sampingku.

Air di kolam mulai terlihat berkabut uap uap putih karena efek perubahan udara, menandakan dini hari semakin larut.

Tiba-tiba keadaan menjadi sangat mengejutkan—buatku.

Kulihat di sekelilingku para wanita mulai pada saling mendekat satu sama lain dan ah ... apa yang terjadi?? Mereka saling berciuman dengan siapapun yang ada di samping kiri kanan mereka?

Bahkan Safina dan Safira pun sudah berciuman merem dengan sangat HOT dengan wajah yang sudah begitu memerah sambil saling meraba toket satu sama lain.

Suara-suara lenguhan manja terdengar di sekelilingku.

"Ini bagian dari ritual." kata Arini.

"Eh?"

"Iya, ini ritual untuk membuka energi seksualitas."

Arini adalah yang satu-satunya ada di dekatku kala itu.

"Ayo kamu harus jadi pasanganku." kata Arini.

"Eh apa!? ... tapi mbak ..."

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang