[74.] Oksitosin

1.6K 56 6
                                    

Di apartemenku—Alexandra sedang di kamar mandi. Aku sudah mandi lebih dulu dan sedang di ruang tengah sambil menonton televisi dan tiba-tiba kudengar suara HP. Ternyata, papaku yang menelepon, ia mengabarkan kalau akhir bulan ini ia kembali lagi berkunjung ke Jakarta karena ada undangan untuk Gala Dinner dari perusahaan rekanan bisnisnya yang mana itu adalah perusahaan milik papanya Alexandra.

"Ah, kebetulan sekali pa, aku diundang sama anaknya juga." kataku.

"Oh, jadi benar, teman kamu itu, anaknya teman bisnis papa?"

"Iya." kataku, "dan tebak ... sekarang dia menginap di apartemen bersamaku." kataku lagi.

"Oh, kamu sudah dekat sekali dengan dia." kata papaku.

"Ya ... begitulah." balasku.

"Eh, iya, papa mau kenalan sama papanya Alexandra? Coba ya, siapa tau aku bisa ngomong sama dia siapa tau dia bisa mengaturkan supaya papa bisa kenalan sama papanya." kataku.

"Wah, papa akan sangat senang sekali kalau bisa dapat kesempatan kenalan langsung sama papanya."

"hehehe, ya oke, lihat aja nanti pa." kataku.


Gadis Kalem

Tidak lama kemudian Alexandra baru saja selesai mandi. Baru sekarang aku melihat Alexandra yang berpakaian ... terbuka?—oh, mungkin kita katakan saja ... lebih santai. Baju atasannya tanktop mini yang bertali tipis melingkar di leher dan bagian punggungnya model backless. Ia mengenakan bawahan celana pendek hotpants tidur. Seksi, tapi ya itu memang sangat nyaman.

Tubuhnya terlihat sangat indah dan membuatku kagum. Tidak usah disebutkan lagi kulit bening putih bersihnya, tapi bentuk bodinya ... wow, cetakan body goals. Bentuk bodi-bodi gadis muda yang atletis. Kencang, ramping, padat berisi. Tidak heran, pasti terbentuk karena sesuai dengan hobinya, berenang—olah raga yang menguatkan kardio dan otot sekaligus. Memang tidak diragukan lagi, gadis anak pantai, masa kecilnya yang dibesarkan seperti putri duyung, hidup dekat dengan air laut.

Melihat tubuh seksi wanita sekarang bagiku sudah sesuatu yang biasa. Tapi ... bagian punggungnya sangat menarik perhatianku. Ya, punggungnya terbuka karena baju model backless, tapi apa yang ada di punggungnya itu yang membuatku sangat terkejut bukan main.

Anak gadis feminim, kalem, lemah lembut itu, ternyata ... punya tatto di punggungnya! Sebuah gambar bunga lotus terlukis di punggungnya, tepatnya di tengah-tengah persis di antara tulang belikat. Itu tatto yang cukup besar ukurannya.

Aku jadi bertanya-tanya, se-nyentrik apa keluarganya? Seperti apa orang tuanya membiarkan anak gadisnya bertato?

Mungkin aku masih tergolong orang yang kolot, karena menurutku ... tidak sembarang orang mau membuat tatto di tubuhnya. Pasti ada alasan khusus yang membuat seseorang mau membiarkan tubuhnya dilukis dengan tinta permanen yang sangat teramat sulit untuk dihapus selain dengan cara dihancurkan dengan sinar laser. Apalagi katanya image memiliki tatto selalu identik dengan kenakalan? Benarkah begitu? Atau aku saja yang kuno tidak mengenal seni lukis tubuh yang satu ini. Tapi, sepertinya kalau aku yang membuat tatto bisa-bisa aku digantung sama mama papaku.

Aku memilih untuk diam saja dan tidak ingin mempertanyakan perihal gambar tersebut. Aku takut ia akan tersinggung dengan pertanyaanku jika kata-kataku tidak tepat. Kami mengobrol biasa saja sampai aku memutuskan untuk masuk kamar dan tidur. Lagipula besok kami berangkat ke kampus lagi jam 9 pagi.

"Kamu boleh tidur di kamarku kalau kamu mau, aku tidur di kamar sebelah aja." kataku pada Alexandra.

"Nggak apa-apa, Lexa bobo sama kamu aja." katanya padaku. "Kan pengen tidur bareng biar ada temennya."

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang