[60.] Phone Call

1.8K 70 8
                                    

Tidak lama lepas obrolan rindu di Cafetaria, aku harus berpisah lagi sementara dengan Safina dan Safira. Mereka punya tempat tinggal sendiri di Jakarta—sebuah rumah yang disediakan oleh perusahaan untuk model-model rekrutannya yang sedang terlibat dalam sebuah project. Mereka berdua memang bernasib baik, mendapat koneksi ke sebuah audisi bergengsi dari perusahaan industri hiburan dewasa; Nafsu Lelaki Entertainment. Audisi bergengsi yang berjudul "BERANITELANJANG" itu kemudian meluluskan mereka ke sebuah project yang sedang digarap oleh perusahaan bergengsi tersebut.


Transparansi dan Keterbukaan adalah motto kami.

Kita harus telanjang, dan benar-benar bugil.


Itulah tajuk atau tagline yang selalu terbaca setiap kali membuka halaman surat pembuka editorial majalah Nafsu Lelaki. Beberapa edisi lama dari majalah tersebut juga ada di rak buku di apartemenku, papaku juga suka membeli majalah itu—ah, tidak mengherankan ... laki-laki.



Kembali ke kamar apartemenku, aku langsung buka baju sampai telanjang dan benar-benar bugil—toh aku juga sendiri dan tidak ada orang lain di sini. Aku langsung merebahkan tubuhku ke atas sofa di ruang tengah di depan TV datar layar lebar.

Ah, nikmat sekali rasanya, melepas lelah, rebahan telanjang di atas kasur sofabed empuk, aku menggeliat-geliat sendiri menikmati sensasi sejuk dan lembutnya bahan sprei. Aku jadi mulai ... ah ... sedikit horni. Kenapa rasa lelah kadang mendatangkan rasa horni yang luar biasa membludak. Bagian vital kenikmatan di selangkangan ku tiba-tiba tegang dan mengeras ... sedikit berdenyut, instingku membuatku menggesek-gesekkan bagian kenikmatan tersebut ke sebuah bantal yang kujepit di antara pahaku.

"Uuuhhnngghh..." aku mengejap mengeluarkan desahan kecil.

Namun ... seketika aku langsung membuka mataku.

"Ah, tidak ... tidak sekarang..." kataku dalam batin.

Aku kembali menyadarkan diriku, kupejamkan mata dan kutarik nafas dalam-dalam, kutahan sekuat tenaga rasa horniku itu. Aku membuka mata dan memandang langit-langit kamar apartemenku. Ah ... sepertinya aku memang lagi sange, ada kebutuhan biologis yang lama tidak terlampiaskan. Aku ingin masturbasi tapi itu harus benar-benar memuaskan dan menuntaskan rasa gelisahku. Aku tidak ingin hanya sekedar ejakulasi, harus yang benar-benar lama, berdenyut, nikmat dan memuaskan. Ah sudahlah ... jelas aku butuh ... bercinta!

Tapi, sekarang ... lupakan saja, mau bercinta dengan siapa? Ah ... aku pun bangkit dan beranjak ke mini kitchen, kubuka pintu kulkas untuk mengambil satu jug lemon infused water—air yang dibuat dengan rendaman irisan lemon. Kuminum segelas untuk mendinginkan tubuhku. Perlahan gejolak di tubuhku sepertinya mereda—walaupun aku tahu itu hanya sugesti saja.

Aku meraba ke dadaku sendiri, sepasang tonjolan empuk itu terasa penuh di telapak tanganku. Kupandangi tubuh telanjangku di pantulan kaca, sepasang bukit kembar bulat sempurna bergelayutan di dadaku. Aku benar-benar sudah berubah, hanya satu yang tersisa di bawah sana. Apakah aku harus ... mempertahankannya? Apa motivasi yang membuatku mau menuntaskan perubahan diriku ... untuk menjadi seorang transgender—seutuhnya. Pertanyaan yang terus menggema di dalam batinku.


Aku kembali duduk di sofabedku.

"Kang Usep..." sosok lelaki tersebut terbayang di kepalaku. Terlintas ingatanku tentang obrolan tadi siang bersama Safira dan Safina,

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang