[61.] Ratu Yang Kehilangan Mahkota

2.2K 63 1
                                    

Maya Lunetta—wanita yang benar-benar pernah jadi crush pertamaku. Racun cintanya benar-benar mengalir dan meresap di dalam pembuluh darahku, bayang-bayang akan dirinya selalu terbayang setiap saat di alam pikiranku. Tetapi, itu dulu. Sekarang, segalanya telah berbeda. Aku telah melepaskan Maya dari bayang-bayang alam pikiranku.

Maya sudah pernah menghubungiku beberapa kali, tetapi sebelum-sebelumnya aku tidak mengangkatnya. Hingga akhirnya malam ini ... aku memutuskan untuk menerima panggilan teleponnya.

"Halo..." sapaku yang mengangkat panggilan tersebut.

"Halo... Raya!! Astaga Raya ... akhirnya lu angkat telepon gue juga." sahut Maya yang membalas di seberang sana.

"Iya ... Maya, ada apa?" tanyaku.

"Raya, gue pengen bicara sama lu Ray. Kita ketemu donk."

"Ketemu ... hm, baiklah." kataku.


Pertemuan

Kampusku memang bukan kampus yang besar, tapi kebetulan saja memang dari kemarin aku tidak ketemu secara langsung dengan Maya. Lagipula aku jarang ada kuliah yang satu kelas dengan angkatanku dikarenakan aku yang mengulang mata kuliah semester-semester sebelumnya. Kalau pun ada kuliah yang satu kelas dengan angkatanku, tapi tidak pernah satu kelas dengan Maya. Namun hari ini, akhirnya aku bertemu lagi secara langsung dengannya—Maya Lunetta. Kemarin saat kami bertelponan akhirnya kami buat janji untuk bertemu.

Jam tiga sore, aku menuju ke tempat kami janjian—taman kecil di lapangan parkir depan kampus. Kami datang dari arah berlawanan namun di waktu yang bersamaan.

"Hai Maya." sapaku.

Akhirnya aku melihat Maya lagi di hadapanku. Ia masih terlihat cantik, hanya saja hari ini aku melihat penampilannya tidak seperti dulu. Tumben saja melihatnya tidak dengan makeup yang menor seperti biasanya. Dan, tumben juga kali ini kulihat ia memakai pakaian biasa—kemeja warna broken white lengan 3/4 dan celana panjang cewek. Tidak berpenampilan seksi yang seperti biasanya.

Aku ingat dulu ia suka memakai pakaian yang modelnya mini dan serba terbuka. Entah itu dress pendek sleeveless dan berbelahan dada rendah, blouse tanktop dan celana ketat atau legging seamless, atau atasan longgar lengan panjang dengan bahu sabrina dan bawahan celana hotpants. Yang pasti style fashionnya tidak pernah membosankan.

"Raya..." Maya juga nampak memperhatikanku dari ujung kepala sampai mata kaki. Entah apa yang ada dalam pikirannya—melihatku yang sekarang.

Tentu saja, ia tidak menemukan tampang cowok kurus dan cupu seperti yang pernah dikenalnya dari semasa SMA hingga setidaknya sekitar 7 bulan yang lalu. Hari ini ia melihat sosok diriku yang memakai baju blouse lapis blaser santai, scarf yang diikat di leher, rok panjang selutut, dan pulasan makeup minimalis ala Korean Look.

"Hai Maya." aku menyapanya balik.

"Wow ... ehehehe, astaga!—elu ... benar-benar berbeda..." ucapan Maya terjeda sejenak, "ya ... gue udah denger sih dari teman-teman yang lain. Sekali lagi ... wow, gue benar-benar nggak nyangka aja. Apa yang terjadi sehingga lu, tiba-tiba jadi—" kata-kata Maya sepertinya terputus sejenak sembari ia masih terpana memperhatikan rupa dan penampilanku yang sekarang.

"Iya, beginilah gue sekarang," kataku, "tapi nggak apa-apa, gue yang memilih untuk menjadi seperti ini dan gue bahagia."

"Raya, lu serius, lu benar-benar berubah jadi ... war—"

"Waria?" kataku yang melanjutkan.

"Ah, maksud gue—,"

"Nggak apa-apa, emang kenapa kalau sekarang gue memilih untuk jadi seorang waria? Apa masalahnya buat lu?" kataku dengan santai.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang