[72.] Salting Salting Nanar

1.6K 56 18
                                    

Semua yang ada di dalam kelas ini adalah teman-teman yang satu angkatan denganku. Kecuali, Maya, karena ia tidak mengambil mata kuliah pilihan ini. Kalian tahu lah, yang namanya mata kuliah pilihan adalah mata kuliah yang kita ambil dan disesuaikan dengan materi skripsi dan tugas akhir yang akan kita tulis.

Begitu aku masuk ke dalam ruangan kelas, semua yang ada di dalam sana langsung pada terdiam. Cewek-cewek saling berbisik saat melihatku. Cowok-cowok ada yang memandangiku dengan tersenyum nakal, ada juga yang buang muka. Ah, beginilah kalau sekelas sama orang yang satu angkatan. Padahal di kelas lain semua orang biasa saja, tidak ada yang aneh dan tidak ada yang peduli juga dengan penampilanku.

Setelah kelas selesai, Tampan menghampiriku. Kulihat si Cibeng, lelaki bantet pendek itu juga berdiri di sebelah si Tampan. Seperti biasa, si Cibeng selalu setia jadi babu pribadinya, membawakan tasnya si Tampan.

"Wow ... Raya ... Bro—astaga ... what happen dude??" Tampan memandangiku dari ujung kepala sampai mata kaki, dengan ekspresi mendelik-delik dan melotot-lotot.

"Kenapa Pan?" tanyaku sambil membereskan barang-barangku.

"Wow, gue nyaris tidak percaya. Raya Ekadewa, teman yang pernah gue kenal, sekarang ... lu jadi seperti ini?? Apa yang terjadi bro??"

"Ya, apa ada masalah?"

"Oh, by the way ... gue mau mengadakan party lagi akhir bulan ini, di villa pribadi gue. Silahkan aja kalau lu ... mau join." katanya lagi padaku.

"Party?? Oh ya ... bukannya elu udah mau married ya?" kataku. "Gue dengar kan elu akhirnya udah tunangan."

"Ah, lu udah dengar rupanya. Ya-ya-ya ... anggap aja ini, semacam pesta bujangnya gue. Ya, gue masih bebas pesta bujang sampai hari pernikahan gue. Ha-ha-ha-ha. Seperti biasa ... gue mengundang banyak bikini girl, ini crazy party, you know lah ..." ucapnya. "Hmm, lu kan sekarang udah jadi banci ... barangkali lu mau join jadi ... bikini sissy?"

"Hwakakakakaka!!" Tampan dan teman-temannya lantas tertawa ngakak. "Bikini sissy!!" mereka semua terlihat bahagia meledekku dengan bergaya-gaya melambai gestur banci.

"Raya ... Raya ..., ditolak terus sama cewek, selalu dibully setiap saat. Lu emang cocok jadi banci." kata Tampan dengan mata mengernyit meledek.

"Gyayayayahahahahaha!!!" tawa sekelas pun semakin riuh. Ada pula yang berceletuk, "cinta ditolak, banci bertindak." mereka meledek karena aku yang dulu ketahuan pernah suka dengan Maya. Kemudian Cibeng pun memimpin paduan sorak, "... banci ... banci ... banci ...". Dan anak-anak sekelas pun mengikuti beramai-ramai bersorak bersama, "... banci ... banci ... banci ...".

Ah, aku tidak mempedulikan ucapan-ucapan mereka dan membereskan barang-barangku.

"Eh ... bro, udah tuh, sekarang si Maya bebas, gue udah nggak pake dia lagi. Tuh sekarang kan mumpung dia masih jomblo, udah lu ambil sana buat lu." kata si Tampan. "Eh ... tapi, barang lu masih bisa ngaceng kagak??"

"Gyyahahahahakakakakak—" lagi-lagi teman-teman sekelas pada tertawa ngakak.

"Titit bencong mah kecil bos." kata si Cibeng.

"Bencong bertitit ... bencong bertitit ... bencong bertitit ..." anak-anak yang lain pada bersorak-sorak.


"Eh, Tampan!" kusorot si Tampan dengan tatapan tajam tapi dengan senyum sinis dan datar.

Lelaki tersebut nampak terdiam dan ekspresinya pun langsung berubah saat tersorot tatapan mataku, ia lantas membuang pandangannya ke arah lain. Seisi kelas mendadak juga terdiam. Aku lantas berdiri dan kudekati si Tampan sambil kusorot kedua bola matanya dengan tatapan datar dan senyuman tipis segaris di tepian bibir.

"Apa yang lu katakan tentang Maya barusan?" kataku dengan sinis.

"Ah, apa pentingnya sih?" balas Tampan.

"Lu punya, pengawal pribadi?"

Tampan hanya menggeleng tidak paham.

"Kalo cuma Cibeng doank yang mengawal lu sih ... hm, dia ditampar banci juga udah lari." kataku enteng.

"Ah, apa sih maksud omongan lu?"

"Maksud gue ... gue ingin menyampaikan kalau ... karma itu, nyata. Pikirkan, kalau suatu hari lu terbangun dan berada di posisi Maya."

"Bicara apa lu!? Nonsense!" ucapnya.

"Ya, siapa yang tau, suatu hari ... lu sedang keluar rumah, jalan-jalan, dan lu tidak tahu siapa yang ada di belakang lu. Lalu ... oh, lu dibius! Tiba-tiba, lu terbangun dan ..., lu sudah memakai baju cewek, lalu wajah lu ... dimakeup. Oh, jangan lupa, lu pakai stocking, garter belt, rok mini. Sungguh fetish sekali, mungkin ditambah ... chastity belt? Kemudian, hmm ... sepuluh orang, oh, tidak ... bagaimana kalau ... dua puluh, ya! ... dua puluh orang—laki-laki, bertubuh besar, berotot, mereka semua sedang mengelilingi lu."

Tampan nampak terdiam kecut.

"Ya, gunakan saja imajinasi lu, apa yang akan terjadi selanjutnya." kataku sambil tersenyum picik.

"APAKAH INI ANCAMAN!?" ketus Tampan padaku.

"Oh, lu merasa terancam??" kataku balas dengan senyum meledek. "Ha-ha-ha ... seorang Tampan Sugih Purnadadi merasa terancam hanya karena kata-kata seorang banci?"

Tampan langsung salting-salting nanar. Ia geram namun wajahnya saja yang nampak merah padam.

Kudorong bahu Tampan menyingkir dari jalanku. "Lu boleh aja ngatain gue bencong atau banci, whatever lah. Tapi ... lu jauh lebih tidak pantas jadi lelaki. Suatu hari, karma yang akan menjawabnya untuk lu." kataku yang kemudian berlalu meninggalkan kelas.

Sebenarnya aku tidak peduli mendengar Tampan yang membicarakan apapun tentang diriku. Aku tidak mau buang-buang tenaga untuk meladeninya. Tapi, entah apakah ini karena perasaanku sebagai wanita. Ketika mendengar apa yang dikatakannya tentang Maya—seorang perempuan. Aku langsung merasa, biar bagaimanapun buruknya Maya, sangat tidak pantas bagi Tampan untuk berkata seperti itu tentang Maya, apalagi Maya adalah mantannya. Maya pernah menyerahkan segala-galanya dari dirinya untuk lelaki itu. Sangat teramat tidak layak bagi seorang cowok—untuk menjelek-jelekkan perempuan, terlebih lagi perempuan yang pernah setia padanya.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang