[68.] Bidadari Penolong

1.6K 55 6
                                    

Braaaakk!!—suara pintu yang akhirnya didobrak. Papa Udi langsung merebut gunting dari tanganku sampai tidak sengaja tangannya pun jadi terluka.

"RAYA!! ASTAGA!!" teriak mamaku.

Aku juga terkejut bukan main melihat ... mamaku, ada di sini?

"Sudah Raya, cukup." katanya padaku.

Aku terduduk lemas di lantai kamar mandi. "Mama koq di sini!?"

Belum terjawab pertanyaanku, mama langsung memelukku. Air mataku langsung mengalir tak tertahan. Mama membiarkanku menangis di pelukannya, masih dengan posisiku yang terduduk di lantai kamar mandi. Hingga akhirnya aku pun mulai sedikit tenang.

"Aku bodoh sekali ma ... astagaaa!!! aku bodoh sekali!" kataku.

"Sudah Raya, tenangkan diri kamu." kata mamaku. "Yuk kita duduk, biar kita bisa ngomong bareng."

Aku menoleh ke papa Udi, perhatianku tertuju pada tangannya. "Astaga ... papa ... maafin Raya paa..." kulihat tangan papa Udi jadi berdarah karena menggenggam gunting saat ia merebutnya dariku barusan. Bercak darah segar itu masih mengalir di telapak tangannya.

"Udah, Raya ... udah, nggak apa-apa." kata papa Udi dengan nada yang tenang.



Kami pun pindah ke ruang tengah. Mama mengajakku bicara sambil mengobati dan membalut luka di tangan papa. Rupanya papa Udi diam-diam menghubungi mama dan langsung menyuruh anak buahnya untuk menjemput mama di Bandung. Tidak ada diskusi panjang lebar dengan Papa Juna, mama tidak peduli meninggalkan rumah kalau sudah urusan gawat darurat tentang diriku. Sepertinya Papa Juna sedikit kesal karena mama yang berulang kali mengurus diriku yang sudah besar ini.

Akhirnya aku pun menceritakan apa yang baru saja kulihat tadi siang.

"Maaf, ini semua ... sebenarnya ... kesalahanku juga." kata papa Udi. "Seharusnya waktu itu aku tidak—"

"Nggak koq, ini kebodohanku." kataku. "ha–ha–ha—, aku bodoh sekali percaya sama laki begitu aja."

Aku tidak menyangka—secepat itu, kang Usep move on dariku. Kami baru berpisah tidak lama, ia sudah menyerah begitu saja untuk mendapatkanku. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tubuhku sudah berubah menjadi setengah wanita. Tapi, sudah tidak ada lagi tujuan hidupku menjadi seorang wanita.

Mama baru saja selesai membalut tangan papa Udi, ia pun menengahi pembicaraan. "Sudahlah Raya, kamu masih terlalu muda. Untuk saat ini, jangan pikirkan soal siapa jodoh kamu." kata mamaku. "Masa depan kamu masih panjang Raya."

"Aku mau kembali jadi COWOK aja!! Aku benci dan jijik dengan diriku yang sekarang ini!!" kataku berseru.

Mama dan Papa Udi saling menatap.

"Raya ... jangan mengambil sebuah keputusan dalam keadaan emosi, lebih baik kamu tenang dulu." kata mamaku.

"Nggak! Pokoknya aku mau kembali jadi cowok seutuhnya, aku nggak mau lagi kayak gini." kataku. "Papa ... bawa aku kembali ke dokter Heri, atau carikan aku dokter lain yang bisa mengobatiku." kataku pada papa Udi. Lalu aku juga menoleh pada mama Devi, "Mama juga pasti senang kan ... kalau aku kembali jadi cowok?"

Papa Udi hanya terdiam, ia memandang mama dan keduanya hanya saling melempar pandangan kemudian mereka kembali menatapku.

"Hiks ... hiks ..." aku menunduk kesal sambil mengucek mataku menahan tangis.

Mama langsung duduk di sebelahku dan merangkul bahuku, "Raya, mama mengerti koq apa yang kamu rasakan. Tapi ... kamu sabar dulu ya, ga usah pikirkan yang macam-macam dulu. Jalani aja hidup kamu yang sekarang." ucapnya padaku.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang