[77.] Shockin Soo Dah

1.4K 63 20
                                    

Akhirnya hari itu aku terpaksa bolos kuliah. Dan, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku juga terpaksa harus menghubungi orang tua Maya. "Tante Selly." nama panggilan mamanya Maya. Dengan berat hati aku menelepon beliau.

Suara ring back tone berdering.

Dalam hati aku mencoba menyusun kata-kata sebaik mungkin agar tante Selly tidak panik, tapi ... seperti apapun aku mencoba menyusunnya, bagaimana mungkin ada orang tua yang tidak akan shock mendengar kabar semacam ini.

Dan telepon itu pun tersambung,

"Hallo tante..." sapaku.

"Halo, ini siapa ya?"

"Ini ... Raya tante." jawabku.

"Oh, Raya? Ooo iya, temennya Maya ya, koq udah lama nggak ke rumah?" balas tante Selly.

"Eh, suara kamu ... koq beda? Ini bener Raya?"

"Hehehe—, iya ... banyak yang ... berubah tante..." kataku.

Aku mencoba untuk tidak basa-basi terlalu lama. Dan benar saja, apa yang kusampaikan kepada tante Selly, membuatnya histeris seketika itu juga.

"Jangan main-main kamu!!" ketus tante Selly. "Kamu bohong kan!! ini tidak lucu Raya!!"

"Seandainya saya memang main-main tante, tapi ... ini ... benar—" aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

Tanpa babibu lagi tante Selly—mamanya Maya—langsung menuju ke rumah sakit. Karena papanya Maya masih ada di luar kota, akhirnya hanya tante Selly saja yang bisa datang saat itu.

Sesampainya mamanya Maya itu di rumah sakit, keadaan pun langsung menjadi dramatis. Mamanya Maya tentu saja histeris—karena selama ini tidak pernah menyangka atas kelakuan dan tindakan anak satu-satunya.

Terjadi sedikit drama keributan di rumah sakit,

Mamanya menangis dan terus mengulang kata-kata; "mengapa bisa jadi begini! Mayaaa!!"

Maya juga hanya menangis-nangis, "Maya bodoh maa... maafin Maya..."

Karena tidak tega, aku pun mencoba menenangkan keduanya. Padahal ini drama keluarga yang seharusnya aku tidak perlu terlibat. Karena keadaan sangat ribut, petugas rumah sakit sampai harus memisahkan Maya dan Mamanya, agar tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan pasien yang lain.

Akhirnya aku mengajak mamanya Maya untuk sementara keluar dari kamar pasien. "Tante tenang dulu." aku mencoba untuk sekedar menenangkan dirinya. Mamanya Maya itu hanya terlihat menangis-nangis. Aku mengerti bagaimana hancurnya perasaan tante Selly melihat keadaan anaknya seperti itu.

Erwin masih bersamaku, ia hanya terdiam saja di kursi depan kamar. Aku minta tolong Erwin untuk membelikan minum untuk tante Selly.

Setelah tante Selly sedikit tenang, barulah ia menghubungi suaminya.



Apa yang terjadi selanjutnya, tentu saja—antara keluarga Maya dengan keluarga si Tampan pun terjadi saling tuntut. Papanya Maya menuntut pertanggung jawaban dari keluarganya si Tampan.

Keluarganya Purnadadi memang tentu malu bukan main. Tetapi, keluarga Purnadadi memang bukan orang biasa, mereka tidak takut dengan tuntutan semacam itu. Kalau pun ditantang menempuh jalur hukum pun mereka siap. Mereka punya tim pengacara terbaik yang siap memutar-mutar kasus ini—mau berapa lama pun—jika hendak dibawa ke persidangan.

Justru keluarganya Maya yang diancam untuk dituntut balik atas pencemaran nama baik.

Dengan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga Purnadadi, justru keluarga Maya berada dalam posisi sebuah korban yang tersudutkan. Sangat kecil sekali kemungkinannya untuk menang.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang