[50.] Undestructible Femine

2.1K 61 15
                                    

Singkatnya ... satu bulan terapi pun berlalu,

Anehnya sudah satu bulan berlalu tapi belum menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan hormon pada tubuhku, bahkan tingkat estrogenku tidak berkurang satu persen pun. Tapi apa yang terjadi?—Justru berat badanku yang turun drastis, tubuhku justru menjadi semakin lemah seperti orang sakit.



Memasuki bulan kedua,

Aku malah seringkali mual hingga muntah-muntah, nafsu makanku juga berkurang. Akibatnya berat badanku juga semakin turun drastis. Aku semakin lemah—seperti orang sakit, pucat dan nampak seperti kurang gizi.

Hari ini mamaku datang ke kediaman paman Udi. Ia datang sendiri tidak bersama papa.

Kali ini tiba-tiba mama langsung memelukku begitu melihatku. Ia tidak membahas apapun tentang bentuk tubuhku. Ia hanya diam dan memelukku. Jujur saja ... detik itu ... aku langsung merasa semua sesak yang mengganjal di dadaku meleleh lumer selumer-lumernya. Bagai bongkahan es di antartika yang tadinya mengganjal di sana akhirnya mencair. Aku langsung balas memeluk mamaku dan menangis sejadi-jadinya di dada mamaku.

Mamaku lalu menyuapiku makan seperti aku anaknya yang masih kecil saja.

"Papa ke mana ma?"

"Papa kamu kan sibuk kerja." balas mama.

"Oh iya udah, salam ya, Raya kan juga kangen." kataku.

"Iya." jawab mama ku singkat.

"Papa sayang aku nggak sih ma?"

"Kenapa kamu bicara gitu ... jangan berpikir yang nggak-nggak lah. Yang namanya ayah pasti sayang lah sama anaknya." balas mamaku.

Tapi entah kenapa nada bicara mama sedikit berbeda ketika menyebutkan kata 'ayah'. Entah, apakah ... itu hanya feelingku saja?—Aku merasa semenjak aku menjadi Rai, sesuatu dalam diriku menjadi lebih peka dalam mencerna ekspresi, kata-kata, sampai nada lawan bicara. Isi pikiranku lantas jadi overthink ke mana-mana, jangan-jangan mama dan papa lagi ada masalah. Ya rumah tangga biasa punya masalah kan? Tapi aku yakin mereka pasti bisa menyelesaikannya toh. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di antara mereka. Aku pun menahan diri untuk tidak bertanya yang macam-macam.


***

Undestructible Femine

Lanjut cerita—masih berjalan di bulan kedua; tiba-tiba pada suatu hari di tengah malam aku mengalami demam tidak jelas, tubuhku menggigil hebat bahkan sampai mengalami step.

Gilanya lagi aku baru ditemukan dalam keadaan tidak sadar keesokan pagi. Aku langsung dibawa ke rumah sakit dan mendapat penanganan gawat darurat, hingga akhirnya aku harus dirawat inap.

Sungguh ajaib—untung saja nyawaku masih bisa terselamatkan, ternyata ajal belum tiba waktunya untukku. Dokter Heri turun tangan langsung untuk merawatku, aku menghabiskan satu malam untuk observasi fisik, sampai pula harus menjalani tes MRI guna memastikan tidak ada gangguan pada jaringan saraf di otak dan tubuhku.

Paman Udi merahasiakan kejadian ini dari kedua orang tuaku agar mereka tidak khawatir, ia berbohong kalau ini hanya rutinitas dari terapi hormon androgen untuk mengembalikan tubuhku. Tapi sepertinya feeling mama sebagai wanita tidak bisa dilawan dan dibohongi. Mama kembali menghubungi paman Udi dan memaksa untuk bertemu denganku. Akhirnya paman Udi memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi—hanya kepada mama.

Mama pun menghampiriku ke rumah sakit, seorang diri, untuk melihat keadaanku.

Saat aku beristirahat—kulihat dari sela-sela tirai, mama dan paman Udi bicara-bicara. Ekspresi wajah mereka berdua nampak begitu serius tapi dengan suara berbisik sehingga aku tidak bisa menangkap apa yang mereka berdua bicarakan. Ditambah lagi aku teler karena obat tidur yang diberikan padaku.

§


Setelah kondisi tubuhku membaik lantas aku pun diperbolehkan pulang, tapi sebelum pulang kami berdua diajak untuk bertemu dengan Dokter Heri.

"Ada yang harus saya bicarakan dengan serius." ucap sang Dokter.

Sang Dokter lalu mengatakan kalau ada kelainan hormon dan struktur kromosom dalam tubuhku, sehingga tubuhku secara anomali menjadi resistan terhadap androgen lelaki dan justru malah dominan dengan hormon wanita. Androgen yang diinjeksikan ke dalam tubuhku tidak mampu menekan pertumbuhan hormon estrogen dan progesteron yang jauh lebih subur, yang mana justru menyebabkan komplikasi hormon dan metabolisme di tubuhku.

"Saya tidak akan melanjutkan terapi ini, karena apabila terapi androgen terus dipaksakan, yang terjadi adalah penumpukan hormon berlebih. Yang mana hal itu justru akan berbahaya karena bisa menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan metabolisme pada tubuh Raya." tegas sang Dokter.

Paman Udi geram dan tidak percaya tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sial ... huh, baiklah kalau anda tidak mampu, saya akan cari dokter lain." kata paman Udi.

"Silahkan, tapi saya yakin siapapun Dokter yang anda temui, mereka semua akan mengatakan hal yang sama dengan yang saya katakan sekarang." kata sang Dokter.

"Jadi gimana nasib keponakan saya? Saya tidak mau dia jadi lelaki tapi dengan fisik yang seperti ini!" tegas paman Udi.

"Fisiknya Raya sehat pak, dan saya tegaskan! Jangan coba lakukan apapun seperti bedah pengangkatan payudara dan sejenisnya, itu akan sangat berbahaya sekali." ucap sang Dokter.

Paman Udi terdiam, entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Serahkan kembali pada keponakan bapak, apakah ia nyaman dengan dirinya yang sekarang. Saya bukan ahli masalah psikologis, tapi kalau bapak dan Raya membutuhkan tenaga ahli yang bersangkutan—saya bisa memberi rujukan. Tapi dari yang saya lihat, Raya juga tidak menunjukkan tanda-tanda gejala psikologis." kata dokter Heri kepada paman Udi.

Paman Udi tetap terdiam.

Pembicaraan antara mereka bedua pun berakhir, paman Udi memutuskan untuk membawaku pulang.


Luar biasa—kenapa tubuhku bisa seperti ini? Apa yang terjadi pada diriku?—Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, jika ini bukan sekedar efek suntikan dari tante Ratu, apakah ini karena aku yang pernah mandi di mata air misterius Ruyuk Cisange itu?—ah, apakah aku jadi mulai percaya dengan hal-hal gaib. Tapi....

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang