[65.] Kebebasan Untuk Memilih

2K 72 10
                                    

"Ra—Raya?" papa Udi nampak gugup, aku tahu itu walaupun ia menahan dan menyembunyikannya. Aku tersenyum sambil menatap dan membelai wajahnya. Lalu ... aku pun memeluknya, kupeluk kepala papa di dadaku. Papa Udi terdiam di pelukanku. "Papa itu ... terlalu memikirkan banyak hal, tetapi lupa memikirkan diri papa sendiri." kataku.

"Maksud kamu?" katanya sambil mengangkat wajahnya untuk menatapku.

Aku menariknya kembali ke pelukanku. "Bertahun-tahun lamanya, hidup papa ... terkurung oleh masa lalu." kataku sambil kubelai kepalanya. Terasa harum minyak rambut yang terbalur di helai rambut pendeknya.

"Eh?"

"Papa punya harta dunia yang sangat, bahkan lebih dari sekedar kata banyak. Tapi ... papa belum punya gambaran masa depan untuk diri papa, selain memikirkan ... kematian."

Papa Udi terdiam, tapi kulihat ia tak bergeming dari pelukanku, ia nampak menikmati kelonanku.

"Papa nggak jauh beda sama aku. Hanya saja ... sekarang aku sudah move on terhadap satu hal. Aku sudah tidak lagi memikirkan hal apapun di masa laluku. Yang kupikirkan sekarang adalah ... bagaimana diriku di masa depan."

Aku membelai wajah papaku. Kulit wajahnya terasa tebal dan kasar, kulit wajah lelaki. Beberapa kerutan-kerutan yang menandakan usianya ... ah, jangan katakan tua, katakan saja; puncak usia lelaki dewasa. Hmm, usia pertengahan kepala 4, puncak karir, puncak kemapanan, harta berlimpah, punya istana.

Good looking, gagah, tampan baday, berwibawa, karismatik, matang, lebih dari kata dewasa, dan ... single tulen ... total original jomblo. Sexual appealnya sudah pasti tidak diragukan lagi, aku berani jamin itu kalau kutanya langsung pada mamaku—yang pernah jadi mantannya. Ayolah ... wanita mana yang menolak lelaki macam ini. Tetapi lelaki semacam ini yang justru ... menolak banyak wanita.

Kami pun saling bertatapan, sungguh sangat dekat sekali, wajahku dengan papa hanya sejarak ... hembusan nafas.

"Papah..."

"Kenapa Raya?"

"Aku ... bahagia sekali, waktu papa bilang ... aku ... cantik." aku menunduk sambil menutup mataku, wajahku rasanya sudah panas bukan main. Pasti papa bisa melihat wajahku yang begitu merah, mungkin sudah seperti kepiting rebus.

Masih dengan mataku yang terpejam, aku merasakan tangan papa yang menyentuh daguku. Jantungku rasanya sudah dagdigdug.



Tiba-tiba ... ada suara musik yang dimainkan dengan biola. Aku langsung terkejut dan membuka mataku. Nada-nada musik yang romantis terdengar begitu indah terlantun.

"Oh, astaga ... indah sekali pa." kataku. "koq, papa tau, aku suka musik biola?"

"Oh ya? Kamu suka? Lagi-lagi hanya tebakan beruntung." kata papaku. "karena, mama kamu juga suka."

"sungguh romantis." kataku. Aku pun bangun, beranjak berdiri dari pangkuan papa. "Apakah ini artinya ... seorang Yudhistira Ekadewa akan mengajak, anaknya ... berdansa?"

Papa Udi lantas bangkit sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya ... dan, langkah kaki kami berdua pun menguasai lantai dansa. Berdansa slow dance ... romantis. Seperti kisah-kisah fairy tale.

"Kamu ... benar-benar mirip ... mama kamu." ucap papa Udi.

Aku hanya membalas dengan senyuman dan memeluk papaku.

"Raya..."

"Kenapa pa?"

"Raya ... kamu ... bebas untuk menentukan pilihanmu Raya." kata papa Udi padaku.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang