[64.] Romantic Dinner in The Sky

1.9K 71 23
                                    

"Gimana penampilanku pa?" tanyaku. "A—aku ... aku, malu-maluin yaa??" kataku sambil menunduk dan menyilangkan kedua tanganku di dada.

Gila, aku—yang notabene anak laki—akan pergi dinner berdua papaku, dengan diriku yang berpenampilan wanita, berpakaian gaun merah yang sangat indah. Sedikit seksi, dan ... ah, warna merah—warna yang selalu membangkitkan gairah kan untuk lelaki.

Kalau yang di hadapanku sekarang ini adalah kang Usep, mungkin tanpa menunggu lama, aku sudah ditunggang tungging, digempur, dibolak-balik jadi pepes.

Papa Udi lantas melangkah maju ... mendekat ... semakin mendekat. Aku mendengar suara tapak kakinya dan melihat kedua kakinya melangkah, kemudian berhenti ... tepat di hadapanku. Kemudian, aku merasakan telapak tangannya yang besar dan kasar, menggenggam pergelangan kedua tanganku dengan sangat lembut.

Jantungku rasanya jedug jedug jedug jedug seperti suara genderang yang ditabuh kencang kemudian diberikan pengeras suara dengan bass yang volume full. Bayangkan saja bagaimana rasanya di dadaku ... rasanya seperti mau copot.

"Wow, semuanya pas ya." katanya padaku.

Ah, hanya itu saja? Aku pikir ia akan memberikan pujian yang lebih dari itu. Itu bahkan bukan pujian, tapi itu komentar. Apakah sebenarnya ia belum siap sepenuhnya untuk melihatku sebagai wanita. Bahkan ia masih memanggilku "Raya". Tapi, biarlah, tidak perlu terburu-buru, ini kan baru proses—perlahan tapi pasti.

Kugandeng tangan papaku ke ruang tengah.

"Papa koq tau betul, ukuran tubuhku? Bahkan ... ukuran kakiku."

"Entahlah ... tebakan yang beruntung." katanya.

"Makasih ya, pah..." kataku, "kenapa ... papa memberikan ini untukku?" aku menunduk sambil sedikit melirik ke arahnya, "apa ... papa nggak keberatan? Melihatku? Seperti ini?"

"Saya melihat mama kamu bahagia ... jadi, ya ... saya ..." papa Udi nampak hendak menyambung kata-katanya tapi, ucapannya seperti tersendat di lehernya. Ah, dasar lelaki. Tapi setidaknya, ia belajar untuk menerimaku—bukan begitu?

"Pa ... boleh aku ..." aku berkata sambil sedikit menunduk.

"Hm?"

"... boleh peluk aku, sebentar?" entah apa yang kupikirkan, tapi kenapa rasanya wajahku jadi terasa begitu panas.

Tapi tidak kusangka papa mendekat dan tangannya menyentuh lenganku. Ia menarikku perlahan ke arah tubuhnya. Aku dapat merasakan ketika tubuhku menyentuh dada bidangnya, ada tonjolan otot dada yang tersentuh oleh telapak tanganku. Otakku nyaris korslet—jujur saja aku sudah lama tidak merasakan ... menikmati kehangatan lelaki. Begitu telapak tangan papa Udi menyentuh punggungku, aku langsung mengalungkan lenganku, memeluk erat tubuh bidang papaku. Jangan lupa, gaun ini backless, jadi telapak tangannya tentu saja bersentuhan langsung dengan kulit tubuhku.

Aku tidak menyangka papaku tidak malu-malu memelukku seperti ini. Perasaanku entah bagaimana jadi begitu berbunga-bunga, mekar bahagia dan bagai dibawa terbang ke langit. Kupejamkan mata sambil berbaring di bahunya yang kukuh. Hangat ... dan, nyaman. Akan tetapi, aku tidak boleh lupa. Biar bagaimanapun, ia adalah papaku. Papa kandungku.



"Uugh..." tiba-tiba papa Udi sedikit meringis sembari memegang kepalanya.

"Pa ... papa nggak apa-apa!?" aku pun terkejut.

Papa Udi langsung mencari-cari pegangan, ia nampak terkena serangan sakit kepala yang teramat sangat.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang