[56.] Lifestyle

1.9K 69 24
                                    

Sampai di mall, mobil diparkir menggunakan jasa vallet parking. Sangat praktis, ada petugas yang akan memarkirkan mobil dan kita bisa langsung masuk mall dan menikmati jalan-jalan tanpa pusing mencari lahan parkir.

Aku tidak norak dengan mall besar dan mewah, hanya saja aku memang tidak pernah jalan-jalan ke tempat mewah karena bukan taraf ekonomiku untuk memasuki tempat seperti ini. Tapi, diajak masuk ke tempat mewah membuatku jadi teringat kedua orang tuaku terutama mamaku.

Papa Juna tidak pernah suka belanja-belanja apalagi di tempat mahal. Pekerjaannya—yang berpenghasilan gaji rata-rata rumahan sederhana yang isitilahnya 'gaji transit', benar-benar menguras tenaga dan pikirannya, menambah jumlah uban di rambutnya, oleh karena itu ia sangat selektif dalam hal pengeluaran. Biasanya Mama belanja barang keperluan pribadinya hanya lewat online. Keperluan pribadi yang dimaksud adalah; kosmetik dan keperluan untuk merawat diri, atau kalau misalnya mama mau beli baju yang bagus untuk dirinya. Itu pun dengan cara menghasilkan keuntungan terlebih dahulu dengan cara berjualan sebagai dropshipper. Karena uang belanja hanya cukup dan dikhususkan untuk kebutuhan pokok di rumah. Kami hampir bahkan bisa dibilang tidak pernah makan di luar, kami hanya makan masakan rumah. Akhir pekan pun biasa di rumah, tidak pernah jalan-jalan. Sesekali kami pernah piknik ke tempat wisata tapi itu dulu sekali sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Papa Udi membawaku ke sebuah cafe. Aku memandang daftar menu dan harga-harga yang tercantum. Tentu saja aku tidak perlu memikirkan bagaimana membayarnya, aku bisa pesan dan makan apa saja yang aku mau.

Hanya saja, aku benar-benar kagum dengan yang namanya 'gaya hidup'. Mungkin biar bagaimanapun juga jiwaku tetap saja jiwa seorang proletar, terbiasa hidup sebagai orang sederhana. Aku terpana dengan bagaimana cara orang me-label-kan sesuatu sehingga harga benda tersebut bisa berkali-kali lipat. Fried Rice di sini harganya 10x lebih mahal daripada Nasi Goreng di gerobak depan gang rumah orang tuaku. Ya, begitulah analogi manusia modern, siapa yang berlabel "Fried Rice" dia lebih terpandang, lebih ada harganya dibanding yang masih berlabel "Nasi Goreng". Harta dan materi adalah kiblat tatanan dunia baru.

§


Selesai makan, papa Udi mengajakku jalan-jalan. Tentu saja untuk membeli keperluan kuliah. Kuliahku sangat praktis dan modern, tidak banyak buku paket, semua serba digital, jadi aku hanya perlu alat tulis dan sekedar buku catatan.

Setelah belanja keperluan kuliah, papa Udi membawaku ke tempat toko pakaian.

Awalnya kubilang kalau aku tidak perlu baju baru, karena toh bajuku yang lama juga masih banyak. Namun papa Udi tetap menyuruhku untuk ikut dengannya. Lantas kupikir papaku yang mau belanja baju atau sejenisnya atau mungkin juga barang cowok lainnya. Dasar parlente juga, maklum lah pria jomblo. Tapi aku terkejut sekali, karena papa Udi menarikku ke bagian pakaian wanita. Sampai di sana ia hanya diam tidak mengatakan apapun, sementara aku jadi kikuk sendiri.

Aku juga terdiam beberapa saat, kemudian aku menoleh ke arahnya dan bertanya, "ngapain pah? Papa mau cari baju buat siapa?"

"Kamu ... bukannya butuh ... baju cewek?" ucapnya dengan sangat malu-malu.

"A—apa?" tanyaku yang tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Papa Udi tidak menjawab, ia hanya menoleh ke sembarang arah tapi jelas sekali wajahnya semerah tomat rebus.

Ya ampun, so sweet banget. Tahukah bagaimana perasaanku saat itu? Ekspresiku seperti ... merapatkan kedua tanganku di dadaku dan menempelkannya dengan daguku, menatap dengan mata yang berkaca-kaca karena bahagia. Aku langsung lumer rasanya seperti mau pingsan.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang