[54.] Mama Devi

2.1K 71 17
                                    

Usai senja—hari baru saja berganti malam. Mobil SUV hitam yang dikemudikan oleh supir pribadi papa Udi berhenti, di depan sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan di pinggiran barat kota Bandung—tepatnya rumah kediaman kedua orang tuaku. Papa Udi ikut mengantarku ke rumahku.

Bel pintu dibunyikan dan tidak lama mama yang membukakan pintu. Aku langsung memeluk mamaku di depan pintu selama beberapa saat. Kuserahkan bungkusan makanan yang sengaja kami bawa sebagai buah tangan atas kedatangan kami malam itu.

"Ah, kita baru aja mau makan malam ... kebetulan, ayo gabung aja." kata mamaku.

Kulihat ternyata papaku—papa Juna—ia juga ada di dalam, rupanya ia sudah pulang kantor. Aku mencium tangan papaku, ia nampak sedikit aneh melihatku, mungkinkah karena melihat penampilan dan postur tubuhku yang nampak feminim? Padahal aku sudah berpakaian cowok, senormal mungkin. Hanya saja, bagian yang menggembung di dadaku ini tentu saja sulit untuk kusembunyikan walaupun sudah kututup sedemikian rupa dengan bebat kain dan memakai baju yang longgar.

Mamaku membawa kami ke kamar makan. Ruangan yang jadi satu dengan dapur. Tentu saja, bukan ruang makan mewah seperti di rumah papa Udi.

Tidak ada pembicaraan selama acara makan. Tidak seperti layaknya sebuah keluarga yang sedang makan malam bersama di atas satu meja. Kedua kakak beradik itu—papa Udi dan papa Juna—nampak saling menatap datar dan cuek. Jelas sekali memang mereka semua tidak akur, kakak beradik keluarga besar Ekadewa.

Aku ingat pertemuan terakhir ketika keluarga Ekadewa berkumpul adalah ketika pemakaman nenek. Semua adik-adik papa Udi—paman Bima, paman Nakula, paman Sadewa—memang tidak ada yang akur dengannya. Di balik wajah duka saat menurunkan jenazah nenek ke peristirahatan terakhir, semua wajah-wajah itu nampak masih menyiratkan kecemburuan atas kesuksesan akbar dari kakak tertua mereka. Faktanya bahwa, biaya penguburan dan segala-galanya kala itu diurus seorang diri oleh papa Udi. Memberikan pemakaman yang layak kepada mendiang nenek dan juga memindahkan makam kakek ke samping nenek.

Ironis—kalau mereka sudah tahu papa Udi sekarat, mungkin mereka bisa saling berbaik-baikan. Warisan papa Udi pastinya akan jatuh ke tangan mereka juga selaku saudara-saudara kandung. Tetapi, mungkin saja hal itu tidak terjadi—jika pada akhirnya mereka semua tahu, kalau aku adalah anak kandung biologis papa Udi yang mana menjadikan aku adalah pewaris tunggal. Aku belum tahu rencana papa Udi, apakah ia akan membongkar rahasia bahwa sekarang ia punya seorang ahli waris, atau ia akan tetap merahasiakan tentang diriku.


Curahan Hati

Selesai makan papa Udi dan papa Juna pindah ke ruang tengah, mama masih mencuci piring dan aku menemaninya. Sebenarnya mama ingin agar aku ikut ke ruang tengah saja, aku tahu ia tidak ingin meninggalkan kakak beradik yang tidak akur itu berdua saja dalam satu ruangan berhadap-hadapan. Namun, aku tetap saja memilih untuk menemani mama mencuci piring.

"Aku ingin bicara sama mama." kataku.

"Bicara apa?" tanya mama.

Selesai mencuci piring, kuajak mama ke kamarku. Kamar yang sudah lama tidak kutempati semenjak aku kos dan kuliah di Jakarta. Kulihat papa Juna dan papa Udi masih di ruang tengah, mereka melihatku dan mama yang berjalan menuju ke kamarku.

"Ngapain mereka? Apa yang mau dibicarakan?" tanya papa Juna.

Awalnya papa Juna hendak beranjak menyusul, tapi papa Udi menahannya.

"Udah, biarkan aja mereka bicara berdua." kata papa Udi.

Aku menutup dan mengunci pintu kamarku. Mama bertanya-tanya apa yang ingin kubicarakan. Aku berusaha menyusun setiap kata di dalam pikiranku, memikirkan kata-kata apa yang terbaik agar dapat menyampaikan maksud yang ingin ku tuturkan.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang