[18.] Pondok Mawar (Part I)

6K 80 7
                                    

Hari ini kang Usep pergi entah ke mana dan seperti biasa Arini datang dan mengajakku keluar.

"Hari ini ke mana ya? Eh, main ke Pondok Mawar yuk. Nanti gue kenalin deh sama temen-temen baru di sana." kata Arini.

"Pondok Mawar? Apaan tuh?"

"Udah ikut aja." kata Arini.

Sebenarnya aku jadi kepikiran lagi sama si Renju, kasihan anak kecil itu ditinggal sendiri di rumah tapi kata Arini dia lagi dititipin di rumah tetangga, main sama temennya.

"Aman tuh?"

"Dijamin aman." kata Arini.

"Eh ... lu mau di depan? Nih lu deh yang nyetir motor." kata Arini.

Aku memang rindu mengendarai motor butut itu, jadi aku mengiyakan. Tapi rasanya ada yang aneh saat aku kembali duduk di depan dan memegang kemudi. Aku nyaris mau kehilangan keseimbangan seperti baru pertama kali mengendarai motor saja. Rasanya aku seperti kehilangan tenaga di lengan dan bahu.

"Kenapa Rai?"

"Nggak koq ... cuma..."

"Hehehe, aku tau koq, memang rasanya aneh, namanya juga baru awal-awal tubuh berubah." kata Arini sambil tertawa kecil.

"Eh Rai, inget kamu tuh cewek sekarang, cara jalan kamu aja kan udah beda. Tumpuan badan kamu udah bukan lagi dominan di bahu, tapi di sini ..." lanjut Arini sambil meraba pinggulku, "dan ... di sini ..." lanjutnya lagi sambil meremas pantatku.

"Kyaa—" aku berteriak kegelian sambil menepis tangan Arini yang meremas pantatku. Sekarang dicolek sana dicolek sini, semua berasa serba geli.

"Sekarang bakal banyak hal yang harus kamu sesuaikan. Tubuh cewek dan cowok berbeda, sekarang kamu udah harus terbiasa memakai dan menggerakkan tubuh kamu layaknya cewek. Ingat pelatihan dari tante Ratu." kata Arini.

Aku mencelos dalam hati, masa iya perubahan tubuhku benar-benar serius sampai seperti ini.

Pelan-pelan aku kembali menaikkan standar samping dan kunyalakan kembali mesin motor. Aku mencoba berputar sebentar beberapa kali di pekarangan villa dan aku mulai paham apa yang dimaksud Arini.

Sungguh rasanya sangat berbeda sekali, ketika tubuhku masih 100% tubuh cowok aku mempunyai lengan dan bahu yang lebih kuat dari sekarang. Tapi sekarang aku harus mengatur kembali pusat keseimbangan tubuhku, memanfaatkan tumpuan di pinggulku sebagai sentral berat badanku. Ditambah lagi sekarang aku juga punya dua beban baru di dadaku, aset kaum wanita, bagian lemak yang juga punya berat tersendiri, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau bagian ini ukurannya semakin membesar. Sekarang saja BH ku yang Cup A sudah mulai terasa sempit.

Setelah satu dua putaran aku merasa cukup terbiasa. Akhirnya aku bisa kembali menyesuaikan ketika memandu kendaraan roda dua tersebut.

Arini lantas naik ke boncengan, duduk di belakangku dan langsung memelukku dengan mesra. Susu cap janda bening ukuran cup C itu menempel empuk rapat kenyal-kenyal di punggungku.

Hm ... tapi ... ah tidak, jangan Ge-Er Raya, itu bukan pelukan mesra cowok ke cewek. Arini nggak mungkin anggap kamu cowok, Arini peluk kamu layaknya biasa temen cewek sama cewek ketika naik motor berdua.

Skip...

Pelan-pelan kukendarai motor menyusur jalan yang ditunjukkan Arini. Sebenarnya aku juga punya maksud ingin menghafal jalan keluar dari kampung. Siapa tau berguna untuk pelarianku di kemudian hari, diam-diam aku mencoba menyusun rencana untuk pelarianku nantinya.

Akhirnya kami pun sampai di sebuah penginapan di tepi jalan raya yang masih sekitaran daerah Cisarua. Kulihat papan nama besar;


Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang