[48.] Kembali Ke Bandung

2K 74 36
                                    

Akhirnya paman Udi kembali membawaku kembali ke Bandung. Tetapi ternyata ia tidak langsung membawaku pulang ke rumah orang tuaku, ia membawaku ke rumah mewahnya yang terletak di daerah Bandung bagian Utara. Ia juga segera mengabarkan kepulanganku kepada kedua orang tuaku.

Malam itu juga mama dan papaku datang ke kediaman mewah paman Udi. Kedua orang tuaku itu sudah tentu sangat terkejut dengan perubahan fisikku yang sangat drastis. Namun demikian, tidak ada drama dan tangis kerinduan layaknya orang tua yang wajarnya baru saja kehilangan anaknya. Justru diriku malah kena interogasi—berjuta pertanyaan melayang tanpa jeda. Bahkan aku tidak bisa mencerna semua kata-kata yang diucapkan dengan begitu cepat, yang kulihat hanya bibir papa dan mama yang membuka tutup dan wajah-wajah mereka yang menyiratkan ekspresi sejuta kebingungan.

Papa marah-marah tidak jelas, aku hanya menyimak sepenggal-sepenggal cerocosan tanpa jeda yang diucapkannya;

"Raya, kenapa kamu jadi begini?"

"Raya, mau jadi apa kamu?"

"Raya, pikirin masa depan kamu, teman-teman kamu udah pada mau lulus kuliah, kamu malah jadi banci."

"Raya ... Raya ... Raya ... Raya ... Raya ... (entah apa lagi cerocosan yang ditumpahkan di depan wajahku)."

Yang terdengar di telingaku hanya dengungan samar yang tidak dapat kucerna dengan jelas, dan yang pasti kepalaku juga sangat teramat pusing.

"Sudah ... sudah, besok saja kita ngobrol-ngobrolnya kalau keadaan Raya sudah cukup membaik, sekarang lebih baik kita biarkan dia beristirahat." kata paman Udi.

Akhirnya mereka pun meninggalkanku di kamar. Setelah itu sepertinya mereka bicara-bicara di ruang tengah. Suara mereka terdengar samar sampai ke kamar—paman Udi bilang kalau aku lebih baik tinggal bersamanya sementara ini, kedua orang tuaku juga sepertinya menyetujui hal tersebut.


Tidak lama dari itu, keadaan pun hening, sepertinya mama dan papa akhirnya pulang. Kudengar suara langkah kaki yang kembali mendekat ke pintu kamar—paman Udi kembali menghampiriku.

"Raya? Apa yang terjadi, kenapa kamu bisa jadi begini? Mereka yang perbuat ini padamu?" tanya paman Udi.

"Kembalikan saja aku ke sana paman," kataku dengan suara pelan, "aku ingin pulang."

"Pulang?" paman Udi mengernyit heran.

"Kembalikan aku ke rumah kang Usep." jawabku.

"Rumah kamu itu di sini Raya!" balas paman Udi.

"Nggak mau, aku mau pulang kembali bersama kang Usep."

"Usep? Astaga, lelaki itu! Apa yang telah dia perbuat padamu Raya? Mereka benar-benar telah mencuci otakmu. Tenang Raya, paman akan membantu kamu untuk bisa segera pulih."

"Pulih? Aku tidak sakit paman! Aku baik-baik aja, aku sekarang nyaman seperti ini, namaku juga sudah bukan Raya, aku adalah Rai."

Paman Udi semakin geleng-geleng. "Sudah, kamu istirahat saja Raya, paman janji akan mengembalikanmu kembali menjadi seperti semula." ucap paman Udi. Ia lantas menutup pintu kamar dan meninggalkanku sendiri.

§


Rumah paman Udi lebih layak disebut istana, ia tinggal di rumah semewah dan sebesar ini tapi hanya seorang diri—tanpa pasangan hidup. Tidak seperti adik-adiknya yang sudah berkeluarga dan punya anak. Bedanya, adik-adiknya semua orang sederhana yang bersyukur bisa punya atap tempat berlindung walau hanya sekelas rumah-rumah komplekan BTN, dalam hal ini juga termasuk papaku.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang