[53.] Papa Udi

2.2K 54 13
                                    

Pagi hari aku terbangun, setelah cuci muka aku keluar dari kamarku yang terletak di lantai dua. Begitu aku turun dari tangga, Desta menghampiriku, "sarapan paginya di sebelah sini ... mas Raya." ucapnya padaku. Ia membawaku ke teras di tepi kolam yang terletak di halaman belakang. Paman Udi biasa sarapan di teras tepi kolam.

Ada suara gemericik air di kolam, rupanya itu adalah pamanku yang sedang berenang pagi itu. Desta menarik kursi untukku duduk, ia benar-benar menjalankan tugasnya dengan professional.

Tidak lama pamanku beranjak keluar dari kolam, ia mengangkat tubuh basahnya yang nyaris telanjang—hanya bagian selangkangannya yang terbalut oleh cangcut segitiga, celana renang cowok yang bentuknya sangat mini. Sekejap aku terpana memandang tubuhnya yang berkulit coklat terang, eksotis kulit cowok yang bersih terawat. Lekuk lekuk ototnya terlihat begitu menggoda. Tubuhnya betul-betul kekar, sterek, terlatih, terbentuk.

Sungguh sangat mengherankan kalau tidak ada wanita yang menginginkan sosok lelaki seperti ini. Kaya raya, good looking, dan lagi pamanku juga belum terlalu tua, perawakannya begitu gagah dan berwibawa.

Sosok lelaki penakluk.

Aku tidak heran kalau kang Usep bisa dihajar sampai ditekuk sepuluh oleh pamanku.



"Ah, selamat pagi Raya." sapanya padaku. Desta membawakan handuk untuknya, lalu paman Udi hanya menyeka tubuh seadanya dan langsung duduk di sampingku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, daripada otot dada dan perut sixpack pamanku sendiri membuatku gagal fokus. Oh, jangan lupa—ia adalah ayah kandungku.

Desta datang dan menyajikan sarapan pagi ala western breakfast. Roti bakar, telur mata sapi, pancake dengan maple syrup, susu, jus, buah segar dan yogurt.

Awalnya kami hanya terdiam untuk beberapa saat sambil menikmati sarapan pagi. Hingga akhirnya aku yang memulai pembicaraan lebih dulu, "pembicaraan kemarin itu ... jadi, benar kan ... aku anak kandung mu?"

Paman Udi akhirnya menoleh padaku, "iya," ucapnya sambil menganggukkan kepalanya.

"Jadi ini artinya ... aku seharusnya panggil 'papa' donk ... bukan paman." kataku.

"Terserah kamu ... kalau kamu masih nyaman dengan panggilan paman. Kalau suatu saat kamu sudah nyaman memanggil papa, silahkan." balas paman Udi.

"Ya udah ... Papa Udi ..." kataku.

"Apa?"

"Aku akan memanggil Papa Udi mulai sekarang." kataku.

Papa Udi terdiam menatapku sejenak, kemudian ia lantas tersenyum dan mengangguk, "terima kasih ... Raya." ucapnya.

"Kenapa dulu bukan papa Udi yang meminang mama? Kalau memang papa Udi mencintai mama Devi, kenapa papa Udi membiarkan mama dipinang oleh papa Juna?"

Papa Udi menelan makanannya sebelum akhirnya berbicara, "Raya ... kamu harus tau, sebelum saya memiliki semua kekayaan ini ... dulu saya tidak punya apa-apa. Saya hanya anak berandalan yang suka hidup liar dan bebas."

Sambil makan, aku menyimak,

Papa Udi melanjutkan ceritanya, "ahahahaha—kalau ingat masa lalu, mungkin saya adalah petualangan terliar buat masa muda mama kamu. Tapi, Raya, semua itu tidak ada yang abadi. Iya ... suatu hari, kita yang pernah muda dan bebas ini harus menghadapi kenyataan hidup, bahwa kita tidak lagi muda dan harus mulai memikirkan bagaimana untuk hidup serius."

Papa Udi menyambung lagi kata-katanya, "Devi ... dia berhak untuk mendapat kejelasan, ia ingin menjalani kehidupan yang nyata, ia memilih untuk pergi bersama Juna. Saya hanya kisah masa muda, tapi bagi Devi Juna adalah masa depannya. Begitulah kehidupan orang dewasa, Raya."

"Tapi, sekarang papa Udi memiliki segalanya, dari segi materi bahkan melebihi semua adik-adik papa yang lain." kataku.

"Harta? Materi? Semua ini tetap tidak akan bisa membeli masa lalu ... apa yang sudah waktunya untuk berlalu ya berlalu. Sekarang yang nyata buat saya adalah kamu, Raya."

"Papa Udi masih mencintai mama sampai sekarang?"

Papa Udi menatapku, "mama kamu itu Raya ... dia orang yang sangat baik. Dia hanya ingin seorang lelaki ... yang berani berkomitmen. Dan ... ia sudah mendapatkannya dari Juna."

Aku sudah dapat menarik kesimpulan dari jawaban papa Udi.

Seorang lelaki yang masih mencintai mantan kekasih namun ia tidak lagi bisa menjemput masa lalu.

"Sekali lagi ... saya benar-benar mohon maaf, Raya. Maaf, kami menyimpan rahasia ini darimu selama ini."

"Tidak apa-apa, sekarang aku sudah cukup mengerti." kataku.

"Kamu benar-benar dewasa, Raya. Sebagai orang tua, jujur saya kagum dengan mu." balas papa Udi.

Dewasa? Mungkin kehidupan di Cikawin telah membawa banyak perubahan pada diriku. Memahami banyak hal yang sebelumnya sulit kupahami. Mungkin aku bisa saja berpikir bahwa aku adalah sebuah benih kesalahan, tapi tidak ... tidak seperti itu. Aku tidak lagi kekanakan seperti itu. Mamaku tidak pernah menganggapku sebagai benih kesalahan. Lagipula, masalah para orang tua ini sebenarnya bukan masalahku, urusan cinta—itu masalah pribadi mereka. Bagaimana denganku? Apakah aku harus kehilangan cintaku juga?—sekarang ini aku justru sedang kehilangan seseorang yang kemarin telah mengisi hatiku.

"Bisa aku ketemu mamaku malam ini?"

"Baiklah." ucap papa Udi sambil mengangguk.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang