[66.] Gejolak Terlarang

3K 66 16
                                    

"please, biarkan aku tidur sama papa malam ini!"

Papa Udi nampak kaget tetapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Ia justru berbalik memunggungiku saat aku naik atas kasur dan berbaring di sampingnya. Aku mendekat padanya, kupeluk punggungnya dan kutempelkan seluruh tubuhku begitu rapat dengannya. Sebuah rasa gelisah yang tidak dapat kujelaskan menjalar di seluruh tubuhku.

Ada gejolak yang sangat ingin kulepaskan ... atau, mungkin lebih tepat jika kukatakan, ingin kuledakkan! Bukan hanya sekedar pelampiasan untuk keluar ejakulasi. Ah, tidak! Sama sekali tidak sesederhana itu ... aku butuh sesuatu yang ... nikmat dan berdurasi panjang.

"Pah..." aku berbisik memanggilnya.

"Kenapa Raya!?"

"Aku ... aku, cantik kan?"

"Hm..." papa hanya bergumam, sebuah jawaban yang ambigu.

"Kata papa aku ... mirip mama Devi?"

"Ya..." ia hanya menjawab datar.

"Apa ... papa nggak kangen ... sentuhan wanita?"

"Apa maksud kamu Raya?"

Kemudian, aku pun nekat ... kumasukkan tanganku—meraba ke dalam bajunya. Telapak tanganku berkelana di balik kaus tidur tipis yang dikenakan papaku.

Jantungku berdegup kencang saat meraba lekukan dan tonjolan otot-otot yang terbentuk di sana. Bodi cowok yang terlatih dan terbentuk memang nikmat untuk dipegang dan diraba. Aku ingat tubuh kang Usep yang juga keras dan kencang, terbentuk alami karena kerja keras. Tapi, papaku jauh lebih seksi, apalagi tubuh papaku lebih terawat. Kulitnya memang kulit cowok yang keras dan tebal tapi halus dan bersih, tubuhnya pun juga wangi, nikmat wangi tubuh maskulin.

Papa Udi lagi-lagi nampak sedikit menggeliat karena sentuhan tanganku, tapi ia tetap tidak berbuat apapun. Aku semakin gelisah, perlahan-lahan kucoba meraba ke bagian bawah sana. Baru saja tanganku sampai sedikit di bawah pusarnya, papa Udi menangkap dan menahan tanganku.

"Raya!" serunya, tapi dengan suara yang tetap berbisik pelan. "Jangan!"

"Pah ... Raya mohon ..." aku merengek.

"Raya, sudah, hentikan!"

"Paa ... Raya ... lagi butuh bangeett ... nggak enak banget rasanya kalau nggak di—"

"Raya! Tenangkan diri kamu Raya."

Aku tidak tahan lagi dan aku pun semakin nekat, kutarik dan kugulingkan tubuh papaku. Aku menduduki di atas pahanya kemudian kulepas bajuku. Kuperlihatkan tubuh bagian atasku yang tidak tertutup apapun karena aku tidak memakai BH di balik kaus longgar yang kukenakan, aku hanya mengenakan celana dalam saja sebagai bawahan.

Papa Udi nampak terdiam memandangku yang topless alias setengah telanjang dengan kedua bukit kembarku yang gelayutan di hadapan wajahnya.

Kutarik tangan papa dan kutempelkan di atas toketku. Aku menahan rasa geli tapi nikmat terutama di bagian puting susuku, saat telapak tangan papa yang besar dan kasar itu menggenggam penuh bulatan buah dadaku yang telanjang.

"Raya!" seru papa Udi yang langsung menarik mundur tangannya, melepaskan genggamannya dari gunung kembarku.

"Please pa ... malam ini aja," aku mencoba merayunya lagi, "ayolah ... papa kan, laki-laki ... masa nggak kepengen?" kataku dengan nada merengek, manja dan ... sedikit mendesah. "tuh, ini aja udah keras banget begini!"

Papa Udi baru sadar kalau aku sudah berhasil meraba ke bagian selangkangannya. Kuraba tonjolan yang begitu panjang, melengkung di balik celananya. Edan—itu benar-benar sosis jumbo yang mungkin panjangnya nyaris 20 cm. Bagian tersebut sudah terasa tegang dan keras dari balik celana saja aku sudah dapat merasakannya. Pertanda kalau pemiliknya sudah dalam keadaan ereksi alias mulai terangsang.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang