[69.] Sebuah Hiburan Sederhana

1.6K 48 2
                                    

Setelah aku cuci muka, Mama mengajakku ke dalam kamar. Ia menutup pintu rapat-rapat dan baru kali ini aku melihat mamaku yang cuek saja langsung membuka bajunya di hadapanku. Aku sedikit menelan ludah saat melihatnya menarik kausnya ke atas dan melepasnya, kemudian ia juga menurunkan celana panjangnya. Dan, ia pun setengah telanjang hanya berpakaian dalam di hadapanku. Terdapat sedikit kerutan yang menunjukkan tanda-tanda usia juga strech mark, semua itu terlihat wajar untuk wanita seumurnya. Namun ... tetap saja ... aku terpana memandang tubuhnya yang masih begitu bening dan putih bersih. Bentuk tubuhnya juga masih langsing dan tetap indah dipandang. Pinggangnya masih ramping, pinggulnya begitu bulat berisi dan pantatnya juga masih terlihat kencang. Lagipula, mama juga baru melahirkan satu kali—melahirkan aku.

"Raya, pinjam baju kamu ya, kamu punya baju yang lebih santai kan?" kata mama sambil membuka-buka lemari pakaianku. Ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda denganku, bahkan tinggi badan kami juga sama. "Ah, ini aja deh, nggak apa-apa ya." katanya sembari lantas mengeluarkan sebuah dress terusan milikku, dress mini yang panjangnya sebatas paha dan potongan leher yang sangat terbuka, warna pink motif bunga. Aku kadang memakainya juga ketika kuliah, kulapis jaket atau bolero.

Sungguh aku tidak pernah melihat mamaku yang berpakaian dress mini. Biasanya aku hanya melihatnya di rumah dengan pakaian daster emak-emak model panjang di bawah lutut dan serba tertutup. Mama juga sangat jarang keluar rumah. Kalau pun keluar rumah, ia selalu bercelana panjang atau rok panjang. Tapi melihatnya malam ini, sepertinya aku jadi bisa membayangkan seperti apa sosok mamaku waktu muda dulu.

"Eh kamu pakai ini aja, Raya." mama mengambilkan baju dress yang serupa dengan yang dikenakannya, tapi yang warnanya biru laut. "Sini sayang." kemudian mama menyuruhku duduk di depan meja riasku ... ia lantas mendandani wajahku.

Aku hanya diam dan tidak berani berkomentar, didandani seperti anak cewek, oleh ... mamaku sendiri.

Mama hanya memulas wajahku dengan makeup yang minimalis saja; pelembab wajah, BB cream, bedak padat dan sedikit goresan eyeliner untuk mempertajam kelopak mata dan juga merapihkan sedikit alisku.

"Gimana? Kamu suka nggak?" tanya mama padaku.

Aku bercermin dan melihat wajahku yang kembali cantik seperti biasanya—wajah anak gadis dewasa muda. Aku bahkan hampir lupa dengan wajah Raya yang dulu, kalau bukan karena foto di wallpaperku yang selalu mengingatkan akan sosok diriku yang dulu—lelaki cupu dan membosankan.

"su—suka ma." kataku.

"Bener? Suka?" tanya mamaku lagi.

Aku mengangguk.

"Rambut kamu juga bagus koq, kamu salon di mana sih?" tanya mama sambil menyisir rambutku dan menatanya dengan jepit-jepit hairclip.

"Di tempat langganannya temenku ma."

"Bagus tuh modelnya, biarin aja kayak gini ya. Tapi ... kalau emang kamu bosen sih, ya udah. Potong pendek juga nggak apa-apa. Asal ... jangan dibotakin ya." kata mamaku lagi.

Sepertinya itu, sindiran. Karena barusan aku yang mau memotong rambutku.

"Senyum doonk." katanya sambil merangkul pinggangku.

Akhirnya aku bisa tersenyum lagi. Mamaku memang sosok yang bisa jadi orang tua, bisa jadi teman. Ia punya caranya sendiri dalam mendidik.



Kami berdua pun keluar kamar dan papa Udi yang di ruang tengah melihat kami berdua yang sudah kembali rapih.

"Yuk mas ... jalan." kata mamaku.

Papa Udi dan mama saling bertatapan, keduanya nampak agak canggung, tapi yang jelas-jelas nampak paling kikuk adalah ... papa Udi. Cowok memang sangat sulit menyembunyikan ekspresinya di depan cewek yang dikaguminya. Selalu mudah saja melihat raut wajah cowok yang sedang melongo dan terpana, entah itu; pupil matanya yang semakin membesar, kerutan di keningnya yang bergerak-gerak, apalagi jakunnya yang naik turun.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang