[76.] "Miso" That Not Good

1.5K 58 16
                                    

Hari-hari berlalu seperti biasanya. Hari ini pun seperti biasa, pagi-pagi sekali aku keluar untuk jogging di track. Selain aku mulai mengikuti kebiasaan mamaku, aku juga termotivasi untuk punya tubuh yang lebih body goals seperti bodi atletisnya Alexandra. Biasanya aku jogging pakai atasan kaus, tapi hari ini aku cuek saja pakai sport bra top, dan legging seamless. Setelah satu putaran di track biasanya aku lanjut sekedar beberapa set sit up di taman samping swimming pool untuk mengencangkan perut.

Walaupun tubuhku yang sekarang ini, sebenarnya sudah cukup indah apabila dikatakan untuk bentuk tubuh seorang wanita (tanpa melupakan kalau aku masih, wanita setengah pria). Yang bahkan kefeminiman fisikku tidak luntur sama sekali, justru malah semakin menjadi-jadi.

Jangan tanya sekedar bentuk fisikku yang semakin membulat empuk kenyal sana sini atau sekedar wajahku yang semakin feminim. Yang kuperhatikan sekarang adalah, barangku yang di bawah sana. Ukurannya yang semakin hari, semakin mengecil dan menyusut. Bahkan sekarang aku seperti sudah tidak punya buah zakar lagi. Bagian skotrumku itu nampak seperti mengempis dan menjadi rata. Kalau aku bercelana ketat, atau mengenakan bikini sekalipun, bagian bawah itu bisa seperti nampak tidak ada apa-apa.

Awalnya kukira itu hanya semacam efek sementara. Padahal aku sudah tidak pernah lagi disuntik maupun mengkonsumsi hormon wanita. Tapi ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Dokter Heri. Tubuhku sudah memproduksi hormon wanita, secara alami.



Selesai jogging, aku sedang sarapan pagi dan HP ku berbunyi. Alexandra, ia yang meneleponku pagi itu. Ia hanya mengabari perihal acara akhir bulan.

"Eh, Rai ... kamu mau nggak pakai gaun rancangan khusus—bersamaku, berdua?" katanya padaku.

"Eh, gaun khusus? Waduh, aku jadi merepotkan banget nih. Aku udah punya gaun pesta koq." jawabku.

"Yaa, aku sama sekali nggak meragukan sense fashion mu sih, tapi ... aku punya sepasang dress rancangan brand desainer ternama, Vika Vernanda. Tadinya aku mau pakai bareng mamaku, tapi ... mamaku, dia tidak bisa datang."

Vika Vernanda? Wow, aku sama sekali tidak meragukan desain glamor dari brand lokal yang barusan disebutkan Alexandra. Brand lokal tersebut sudah go international sekarang.

"Hm, kamu datang ke tempatku ya, nanti kamu coba aja dulu gaunnya mudah-mudahan pas di kamu." katanya lagi.

Selesai obrolan singkat itu aku pun siap-siap untuk mandi, dandan, karena harus berangkat ke kampus.

§


Saat aku sudah berada di mobil dalam perjalanan berangkat ke kampus, teleponku berdering berulang kali. Tapi karena aku masih tengah mengemudi, rasanya aku malas mengangkat telepon dari nomor tak dikenal tersebut.

Begitu tiba di kampus—setelah turun dari mobil, aku melihat beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang berkerumun di taman parkiran. Sekilas sepertinya aku mendengar beberapa orang yang seliweran membicarakan seorang wanita yang baru saja diangkut ambulans.

Erwin langsung saja menghampiriku begitu melihatku datang. "Ray, lu udah tau belum? Ada kejadian barusan?" katanya padaku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Maya, dia..."

"Kenapa dia??" tanyaku.

Tiba-tiba teleponku berdering lagi, kutengok layar panggilan. Nampak dari nomor yang sama seperti yang barusan menghubungiku saat aku di jalan tadi. "Bentar ya Win." kataku.

"Halo," aku pun menjawab panggilan tersebut.

Suara seorang wanita terdengar melalui panggilan telepon tersebut. Wanita itu bersuara dengan tenang, perlahan dan lembut, maksudnya agar setiap informasi yang ingin disampaikannya bisa kutangkap dengan jelas. Namun, berita yang kudapatkan justru sangat membuatku shock siang itu.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang