[58.] Kembali Ke Kampus (Part II)

1.8K 54 23
                                    

Ah, jujur saja aku sudah tidak tertarik mendengar apapun tentang Maya, tetapi Erwin tetap saja nyerocos. Ia menceritakan, satu bulan setelah kejadian pesta gila di tempat si Tampan tempo hari, tiba-tiba Maya dan Tampan akhirnya ... putus. Oke, mereka putus lagi? Bukan hal yang aneh buatku. Sudah berapa kali mereka putus nyambung putus nyambung dan ujung-ujungnya juga mereka kembali bersama.

"Tetapi hingga sekarang, mereka tidak pernah lagi terlihat bersama," kata Erwin, "dan kali ini, sepertinya mereka tidak akan pernah kembali." lanjut Erwin.

"Oh, ahahaha, gimana lu bisa yakin?" kataku.

"Karena ... tidak lama kemudian Tampan mengadakan acara pertunangan." kata Erwin, "ya ... dia dijodohin sama orang tuanya!"

"Hari gini ... ada juga anak dijodoh-jodohin ya?" aku sekedar berceletuk, tapi memang aku heran dan kaget juga.

"Ah, kehidupan Crazy Rich, lu tau lah, semua selalu ada kepentingan keluarga." kata Erwin sambil menyeruput minumannya. "Kasihan Maya, padahal dia nggak jelek juga, dia juga anak orang berada, dan mungkin dia berpotensi jadi model. Oh ya, tapi ... kenapa ya dia berhenti dari UKM modelling?"

"Lu emang cocok ikut UKM jurnalistik, udah sana lu tulis aja tuh berita di kolom gosip warta kampus. Gue udah nggak tertarik sama cerita apapun tentang Maya atau siapa lah itu pacar-pacarnya. Dia pacaran sama siapapun juga sekarang gue masa bodo." kataku. Rasa bucinku pada Maya sudah lenyap total, menguap dan benar-benar hilang tak membekas lagi di dalam diriku.

§


Selesai makan aku pun hendak meninggalkan cafetaria.

"Eh ... broh, lu mau ke mana? Tunggu donk." Erwin tergupuh-gupuh hendak mengikutiku. Entah apalagi yang ia inginkan, ia mengejar langkahku dan berjalan di sampingku. "Eh, bro ... duh, sebenarnya koq ... gue jadi pangling ya, jadi gue harus panggil lu apa nih mulai sekarang?" ucap Erwin sambil memandangiku dari ujung kepala sampai mata kaki.

Sangat jelas sekali ketika kedua bola matanya melongo mendelik melihat belahan kancingku yang sengaja kubiarkan terbuka untuk sedikit memperlihatkan aset keindahan tubuhku yang satu itu.

"Eh, njir ... lu beneran mau jadi waria? Kenapa sih? Cerita donk."

"Eh lu bener mau jadi waria apa cuma crossdresser, itu ya istilahnya ... ceder, cider, cder, coder?Eh apa sih?"

"Ih, seru banget sih, jadi cantik, punya toket pula. Gimana sih rasanya?"

"Tapi ... lu cuma bikin toket aja kan? Titit lu masih tetep lu piara kan? Ya kan? Ray... ngobrol doonk. Eh, lu masih masih bisa ngaceng kan? Seru banget ya, ngaceng tapi bodi cewek ... seksi deh pasti tuh ... dari sini aja udah kelihatan lekuk badan lu bagus. Anjyiir ga nyangka gue."

Aku tidak mempedulikan ajakan obrolan Erwin, kepalaku malah rasanya jadi pusing mendengarnya nyerocos dari tadi. Dari aku masih makan sampai sekarang makananku bahkan belum turun sepenuhnya.

"Eh, boleh donk ... pegang dikiit aja ... itu." katanya sambil melirik ke sepasang bukit kembarku yang pastinya menggemaskan.

"Ih, gila lu ya!?" aku berseru ketus.

Aku memang sangat percaya diri dengan asetku yang satu ini, walaupun tidak besar tapi kalau kupamerkan dengan bikini, tetap memikat, menantang juga mengacengkan buat mata lelaki, aku berani jamin itu. Tapi tentu saja tidak sembarang orang boleh menyentuhnya.

"Penasaran banget gue. Cuma dikit aja lah, biar ngerasain aja pegang toket."

Aku menoleh dan melotot. Rasanya ingin kutampar saja. Tapi, ah, buang-buang tenagaku saja. Akhirnya aku dapat ide supaya Erwin berhenti nge-bacot, tempat di mana Erwin tidak mungkin bisa nyerocos. Yaitu; Perpustakaan.

Gadis Ruyuk CisangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang