DAN di sinilah dia sekarang.
Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan.
Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai.
Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai.
Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu.
Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak tenaga.
Aneh.
Aku tak tertarik tinggal di gedung itu. Dindingnya terlalu tebal. Menghalangi indraku berbincang dengan alam. Ah, untuk apa berpikir tinggal di sana? Aku hanya akan satu kali menginjakkan kaki di rumah itu lalu selesai.
Rumahku di desa adalah yang terbaik. Dekat dengan keluarga, dekat dengan alam.
Sambil menunggu, dia duduk bernapas tenang, berusaha menyatukan dirinya dengan alam. Terlalu tenang, bahkan seekor ular pun bisa melata santai di tubuhnya seakan tubuh itu bagian dari pohon yang menjadi rumahnya.
***
Sementara itu, tak jauh dari tempat Airlangga bersemedi, keriuhan pesta mulai mereda. Tamu-tamu terutama yang tua sudah berpamit pulang. Pelayan sudah tidak terlalu sibuk Gerakan mereka mulai santai dan mulai merapikan pesta yang sudah mendekati ujung. Alih-alih penuh makanan, meja-meja di sana sekarang penuh gelas dan piring kosong.
"Ells."
"Ya?"
Daniella sedang duduk, mengistirahatkan sejenak tubuh lelahnya. Sedari tadi dia berjalan berkeliling menjumpai para tamu. Berdansa dan menari dengan banyak tamu. Sekarang kakinya menjerit menarik perhatiannya.
Saat itulah Robert datang menyapa.
"Kenapa kakimu?" Ells sedang meluruskan kaki dengan tangan memijat betisnya.
Dia hanya tertawa. "Lelah. Tapi aku bahagia. Tidak setiap tahun seorang gadis berulang tahun yang kesembilan belas bukan?"
Robert tertawa menanggapi. "Tentu. Ini adalah perayaan sekali seumur hidup. Dan tahun depan, kau akan merayakan pesta sekali seumur hidupmu. Ulang tahun kedua puluh."
Diam setelah tawa kecil sekadar berbasa-basi.
"Ke mana saja kamu selama ini, Ells?" tanya Robert lagi.
Pertanyaan yang membuat kening Ells berkeryit tak mengerti.
"Aku?" Dia menunjuk dirinya senidiri. "Aku lahir di sini, dan selama itu juga aku di sini sampai sekarang."
Robert terkekeh. Dia menertawakan dirinya sendiri.
"Kenapa kita baru bertemu?"
"Karena selama ini kau di Bukit Tinggi sementara aku di sini."
Ganti Ells yang tertawa kecil, tawa renyah yang membuat setan-setan di tubuh Robert menggeliat semakin terjaga.
"Kenapa aku baru melihatmu? Kenapa kita baru bertemu?" tanyanya lagi yang lagi-lagi ditingkahi gelak lepas Ells.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...