SINAR terang matahari yang menembus jauh masuk ke dalam gua membangunkan Airlangga. Dia terbangun dengan sesosok makhluk hangat yang memeluknya erat. Tangannya pun merangkul sosok itu.
Terasa hangat, damai, dan menyenangkan. Dunia menjadi tempat yang sangat tenang.
Tubuhnya sedikit tersentak dengan debar jantung yang mendadak menguat ketika teringat bersama siapa mereka berbagi ruang kecil ini. Tak perlu matanya menyusuri goa kecil ini, sekali pandang, langsung terlihat bahwa sisa mereka berdua menjadi penghuni goa. Harimau itu telah pergi. Entah kapan, yang pasti dia sudah tidak ada dan mereka masih hidup.
Dia mengembuskan napas lega. Semua baik-baik saja. Dia tidak menyangka bisa berakhir sebaik ini. Meski dia merutuki diriinya sendiri yang tertidur di saat seharusnya berjaga siaga satu. Namun sedikit pemakluman dia berikan untuk dirinya sendiri. Dia masih belum pulih, butuh banyak istirahat, dan terutama, tubuh nyaman yang memeluknya membuatnya terlena. Meski begitu, dia merasa perlu menghukum dirinya sendiri untuk keteledoran ini. Entah apa, entah kapan.
Tapi kali ini, biarkan dia menikmati kenyamanan ini. Setelah bisa ular itu meluluhlantakkan tubuhnya, harimau nyaris menjadikannya santap malam, bolehkan dia memberikan hadiah untuk dirinya sendiri juga? Sekadar menikmati kedekatan ini bersama sosok hangat yang masih lelap di pelukannya.
Perlahan sosok itu bergerak, Airlangga bergegas melepaskan pelukannya. Setelah sepanjang malam dia merasakan pelukan itu, melepasnya terasa seperti kehilangan. Meski ketika sadar gadis itu memeluknya dalam ketakutan, tapi ketika lelap dia tetap memeluknya, dan pelukan di momen itu yang Airlangga nikmati.
Ells menggeliat bangun. Dia sadar di mana dia berada. Di pelukan Airlangga. Ah... nama itu terasa sangat nyaman diucapkan. Ells selalu ingin mengucapkan nama itu.
Airlangga ... Airlangga ... Airlangga....
Dia menggeliat dan dia kehilangan pelukan. Tapi dia tetap memeluk pinggang ramping itu. Sebelah tangannya tetap di dada Airlangga. Mencari kehangatan mengejar kenyamanan.
Tiba-tiba dia tersentak. Duduk tegak sambil melayangkan pandangan ke semua sisi goa dengan wajah panik, cemas, dan sadar seutuhnya.
"Mana harimau itu, Angga?" tanyanya cepat sambil terus melayangkan pandangan.
"Sudah pergi." Berbisik. "Tenanglah."
"Benarkah? Kapan dia pergi?"
"Aku tidak tahu. Aku masih berjaga ketika harimau itu sadar. Aku ikut tertidur tak lama setelah harimau itu tertidur. Dia sudah tidak ada ketika aku bangun."
"Sejak kapan kau bangun?"
"Baru saja."
"Artinya kita benar-benar tidur bersama harimau, Angga?" Matanya terbelalak, tak percaya tapi terlihat begitu indah.
"Ya."
"Dan kita masih bersama..." Ells berbisik, teringat betapa ketakutannya dia semalam.
"Sepertinya begitu..." balas Airlangga, juga dalam bisikan. Mendengar itu, Ells kembali memeluk Airlangga.
"Aku tidak memelukmu." Airlangga masih berbisik, menjelaskan kondisi mereka sebelum Ells kembali mengamuk dan merusak suasana.
Ells tertawa kecil. Malah semakin mengeratkan pelukannya. Membuat Airlangga terkejut dan menahan napas.
"Bekas cakar ini..." telunjuk Ells menelusuri lembut luka yang hampir mengering itu, "sudah hampir kering total."
Airlangga lupa bernapas.
"Ya...." Suaranya sangat serak dan dalam. "Sudah sembuh." Tetap dalam bisikan, walau dalam kedalaman yang berbeda.
"Kapan kita bisa pulang?" Tangan yang tadi menelusuri luka cakar sekarang menjelajah di luka gigitan ular.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...