"PAPA, apa aku sudah terlihat cantik?"
Seorang gadis, memakai gaun berwarna putih bersih yang menjuntai sampai terseret di lantai muncul sambil bergerak lincah, menyelinap melewati pintu kayu besar menghampiri seseorang yang dipanggil papa.
Frederick van Loen—sang ayah—yang sedang menatap ladang melalui jendela besar dari ruang kerja begitu mendengar suara yang sangat dia kenal, langsung berbalik untuk menjumpai putrinya tersayang. Anak semata wayangnya. Gadis itu berbalik, memutar tubuh untuk memamerkan gaun indahnya.
"Kau selalu cantik, Daniella." Van Loen berjalan mendekati gadis itu, tangannya terentang untuk memeluk Ells, putrinya. "Apa pun yang kau pakai, kau selalu cantik." Dia masih memandang lekat wajah anaknya.
Dia sangat mirip dengan ibunya. Sangat-sangat mirip. Atau aku terlalu merindukan ibunya hingga semua yang berhubungan dengan dia terlihat mirip di mataku? Tapi dia memang secantik ibunya.
"Papa, apa yang Papa pikirkan?" Mereka sangat dekat, Ells pasti langsung melihat perubahan cepat dan mencolok ekspresi papanya.
"Kau sangat mirip ibumu, Ells." Merasa tidak ada yang perlu disembunyikan, ayahnya tersenyum berkata jujur sambil masih membayangkan mendiang istrinya.
"Ah, Papa...." Suara ceria itu mendesah resah. Hilang matahari menjadi mendung.
Daniella Elizabeth van Loen, Ells, dia tidak sempat menikmati kasih bunda. Ibunya bertukar nyawa ketika melahirkan Ells. Meninggalkan bayi merah hanya bersama ayahnya. Di tanah yang baru, tanah yang jauh dari tanah leluhur.
Daniella tumbuh menjadi gadis yang cantik. Udara dan angin lereng Gunung Bromo tidak menghilangkan kehangatannya. Dia menjadi matahari di lereng itu. Semua orang mencintainya.
Terlebih ayahnya.
Walaupun Ells tidak sempat merasakan cinta bunda, tapi cinta ayahnya selalu dia rasakan melimpah ruah. Beredar bersama aliran darah, menjadi selimut hangatnya. Ells tidak pernah kekurangan cinta. Ells menjadi pusat dunia. Semua tercurah untuknya. Van Loen seperti ingin membayar ketiadaan ibu dengan berkali lipat mencintai anaknya.
"Papa mencintai kalian berdua."
Ells semakin erat memeluk papanya. Dia tahu, betapa besar cinta papanya pada mendiang mamanya. Papanya memilih untuk terus sendiri berkawan sepi, memilih tak menikah atau mengambil wanita lokal untuk menghangatkan ranjang dinginnya. Dia tidak ingin perhatiannya terbagi antara anak dan istri. Dia tidak mau istrinya cemburu pada anaknya. Dan masih banyak alasan lain yang terkesan mengada-ada tapi itulah yang terjadi. Van Loen tetap sendiri sampai Ells menjadi gadis dewasa.
"Sudahlah ... ayo kita keluar. Tamu-tamu sebentar lagi datang." Tersenyum, van Loen berusaha mengembalikan sinar matahari anaknya. Tak rela mendung mengganggu hari bahagia ini.
"Ayo ...." Ells bersemangat kembali. Berjalan bergandengan tangan, dia mengayun tangannya maju mundur. Tentu tangan ayahnya ikut terayun. Dia berjalan seperti kijang kecil lepas dari kandangnya. Melompat-lompat seperti ada per lentur di kaki. Van Loen tersenyum bahagia setiap melihat Ells seperti itu.
***
Persiapan pesta telah rampung. Meja-meja pun sudah penuh berisi makanan. Kursi sudah di susun. Bunga segar beraneka jenis dan warna dirangkai indah, menambah keindahan pesta dan membuat sekitarnya harum. Mereka berdiri di teras, menatap ke halaman depan, para pengurus rumah tangga sibuk dengan persiapan akhir. Ini pesta ulang tahun Ells yang ke-19.
"Ells, nanti banyak teman Papa yang datang. Mereka mengajak keluarganya. Termasuk anak lelakinya," ujar van Loen tiba-tiba dengan tetap menatap pusat pesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...