PERJALANAN pulang yang sungguh berbeda.
Tak ada lagi teriakan marah dan suara datar membentak bersahutan dengan gerutu dan isak. Tidak ada lagi kaki tersaruk mengikuti langkah cepat sambil bibir memaki dan hati mendongkol. Tidak ada lagi tatapan mencemooh. Tidak ada tepisan kasar. Semua berubah. Mereka berjalan bersama, berpelukan saling menjaga dan menguatkan.
Airlangga berjalan perlahan lebih untuk mengimbangi langkah Daniella, bukan karena lemahnya. Ells berkali-kali menanyakan kesehatan Airlangga. Jemari mereka tak pernah lepas, bertemu menjadi sanggurdi.
Sekarang hanya ada bibir-bibir yang selalu tersenyum, mata-mata yang selalu ingin saling memandang, suara-suara lembut menenangkan atau suara bernada khawatir.
"Kau tahu, Angga, aku sangat lega melihatmu kemarin."
"Yang mana?"
"Ketika aku tersesat. Aku begitu asyik bermain dengan kelinci sampai tak sadar aku sudah terlalu jauh dari mata air. Lalu aku tidak bisa pulang. Aku berteriak memanggilmu padahal aku tidak tahu namanu." Dia terkekeh diikuti senyum Airlangga. "Ketika yang datang landak dan trenggiling, aku memilih diam dan menunggumu datang. Aku yakin kau akan mencariku." Dia tersenyum sambil menengadah, mendongak menatap wajah Airlangga. "Aku benar bukan? Kau berdari datang ke arahku."
Airlangga pun tersenyum. "Aku lega dan ketakutan. Ketika menyadari kau hilang tersesat, aku segera berlari mencarimu. Lalu ketika melihatmu, aku lega dan ketakutan. Ular itu sudah sangat dekat denganmu." Mereka terus berjalan.
"Aku tak tahu ada ular di atas kepalaku—"
Terputus.
Airlangga menghentikan langkah, membalik tubuh, lalu mencengkeram bahu Ells untuk membuat mereka berdiri berhadapan. "Itu pertama dan terakhir kalinya kau seperti itu!" Dia berkata tegas. "Kau membuatku mati berdiri, cemas mencarimu, panik mengingatmu," lanjutnya dalam desis. "Aku nyaris mati melihat ular itu sudah begitu dekat dan mengarah ke arahmu."
"Kau ... cemas...?" Ells bertanya sambil tangannya menggenggam lebih erat jemari Airlangga.
"Tidak!" Airlangga berhenti melangkah. Bergerak menatap Daniella. "Aku khawatir, Daniella! Panik! Kalut. Ketakutan..." Matanya menyipit. Suaranya bergetar. "Ak ... ak...." Dia menyandarkan dahinya ke dahi Daniella, tangannya mencengkeram erat pinggang gadis itu.
"Sshh ... sudahlah.... Sekarang kita baik-baik saja." Ells menepuk pelan pipi Airlangga. Menenangkan lelaki itu dengan suara lembut. Membuat Airlangga menggerakkan wajahnya, mengikuti gerakan tangan Daniella. Menikmati kulit halus itu menepuk wajah kasarnya. Tepukan yang berubah menjadi belaian. Airlangga menikmati semuanya.
"Ya ... kita baik-baik saja. Bahkan sangat baik." Tangannya bergerak naik, membelai rambut Daniella. Berhenti di lehernya. Wajah mereka tak berjarak. Pandangan mereka tak berfokus. Hanya memerlukan kedekatan, tak memerlukan fokus pandangan, karena wajah itu sudah sedemikian akrab dan melekat dalam ingatan.
Dan tanpa diatur, semua tiba-tiba terjadi, Airlangga sudah mengecup bibir Daniella yang langsung membuka mendamba. Memberi jalan Airlangga menelusuri dan mencecap. Tangan Airlangga mencengkeram rambut Daniella, di saat Daniella merapatkan pelukannya di pinggang Airlangga. Mereka makin tak berjeda bahkan bibir mereka bertaut begitu dekat.
Semuanya terjadi begitu saja. Mengalir. Dan mereka menikmati aliran itu. Menikmati ciuman itu. Lembut, tidak terburu-buru, seakan semua waktu untuk mereka. Airlangga, yang merasakan hasratnya meroket tak terjangkau, tetap berusaha mengendalikan gairahnya. Mengikuti ritme Daniella. Tak ada yang memburu mereka. Kecup itu telah berubah berupa lumat yang membangunkan keinginan terdalam seoang lelaki muda.
![](https://img.wattpad.com/cover/357534445-288-k671452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...