16, Jinak

10 2 0
                                    


BULAN mulai naik. Bersiap berganti tugas dengan matahari. Meski hari hanya ditemani bulan tapi Airlangga tidak menghentikan langkahnya. Dia tetap berjalan walau dunia sangat redup. Seperti tidak ada yang mengejarnya, dia berusaha mengikuti kecepatan Ells melangkah. Dia tahu, gadis itu sudah sangat payah melangkah.

Makin lama langkahnya makin pelan, dengus napasnya makin terdengar jelas. Berkali-kali dia harus berhenti menunggu gadis itu bersandar di batang pohon mengatur napas. Tak terhitung kali dia mendengar suara benda jatuh diikuti suara mengaduh berlanjut suara gerutu di belakangnya yang terkadang diikuti suara jerit histeris. Semua Airlangga anggap normal. Maka dia hanya akan menunggu sesaat sampai tawanannya berdiri lalu kembali mengekor dan menggerutu panjang.

Untuk berjaga dan mengawasi tawanannya, dia berjalan beberapa langkah di depan gadis itu tanpa mengikatnya lagi. Bahkan dia jarang menoleh, tapi mendekati akhir perjalanan, dia menjadi lebih sering menoleh, memastikan gadis itu baik-baik saja. Dia sudah bersiap jika tiba-tiba mendengar bunyi jatuh tanpa mengaduh. Mungkin gadis itu jatuh dan langsung pingsan kelelahan.

Malam sudah mendekati puncak ketika akhirnya Airlangga berhenti. Ells sudah terengah-engah. Bersandar di sebatang pohon, dia berusaha mengatur napas. Malam sedingin ini, tapi keringatnya mengucur deras. Dia bisa merasakan uap panas keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya. Ini benar-benar sangat jauh. Untung dia sudah mengikuti saran penculiknya. Berhenti meninggalkan jejak untuk ditelusuri papanya.

Jika tidak, aku benar-benar akan telanjang! ujarnya dalam hati sambil terengah. Ya Tuhan... di mana ini? Aku mau pulang, Papa.... ratapnya.

Ells hanya mampu menarik napas panjang. Kelelahan dan merenungi nasib. Sudah nyaris sehari penuh dia berjalan. Dia tidak tahu waktu dan tidak peduli lagi ini siang atau malam atau bahkan tengah malam. Sama saja. Dia harus berjalan terseok.

Meski jalannya tersendat ulahnya dan kondisi hutan yang lebat, tapi tetap saja, seharian berjalan artinya jarak yang dia tempuh sudah jauh. Dia semakin jauh dari rumah dan dia tidak lagi meninggalkan jejak. Ells tidak ada ide bagaimana caranya dia bisa kembali ke rumah. Rencana awal, jejak-jejak yang dia tinggalkan, selain untuk petunjuk papanya juga bisa dia gunakan sebagai penanda jika dia bisa melarikan diri. Namun, semakin jauh dia berjalan, semakin lama dia berpikir, semakin kecil kemungkinan dia bisa pulang tanpa keinginan penculiknya melepasnya. Dia benar-benar bergantung pada penculiknya.

Sambil bersandar, dia menatap kosong ke depan, ke arah penculiknya yang sibuk mengerjakan entah apa. Tangannya begitu terampil, sangat cekatan. Dia bisa melakukan banyak hal. Apalah yang bisa dia lakukan? Di rumah saja dia tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi di hutan seperti ini. Bagaimana dia bisa bertahan hidup di sini? Semuanya dalam kendali si penculik. Tak ada guna dia berontak. Teringat kebodohannya tadi siang, penculiknya begitu mudah menemukan dia. Dia makin tidak ada harapan lolos sendirian.

Ells pasrah. Yang bisa dia lakukan hanya mengikuti saja. Mengikuti langkah penculiknya. Mengikuti perintahnya juga.

"Kemarilah," panggil Airlangga dengan suara datar. Tanpa daya, Ells pasrah berjalan mendekati penculiknya yang memegang seutas sulur. "Kau sudah lebih jinak sekarang." Semyum miring tercetak di wajahnya.

Kembali, tubuh Ells menegang kaku.

"Jinak???" Dia ingin menampar orang itu! "Verdomme!"

Tidak!

Aku ingin membunuhnya! Dan mencincang-cincang tubuhnya untuk makanan Binggo! Uap panas kembali terasa membumbung di atas kepalanya. Kali ini bukan karena kelelahan, kali ini dia benar-benar marah.

"Ya ... jinak. Kau sudah tidak meronta dan berteriak-teriak liar. Kau mengikuti langkahku dengan patuh dan mengikuti perintahku dengan taat. Apa itu bukan jinak namanya?" Suaranya mengejek, merendahkan, menghima, kurang ajar.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang