31, Panik

8 2 0
                                        

SUARA gemerisik yang lebih keras mengalihkan perhatian Ells dari trenggiling. Dia langsung menoleh ke sumber suara.

Penculiknya!

Matanya mendelik sempurna membalas delikan yang sama dari penculiknya. Saat melihat sosok penculiknya, Ells ingin berteriak dan meloncat kegirangan. Dia selamat. Tapi ekspresi ngeri di wajah penculiknya mengurungkan niat selebrasinya. Delikan mata penculiknya berbeda arti dari delikan matanya.

Penculiknya meletakkan telunjuk di depan bibir.

"Diam.... Jangan ... bergerak..." desisnya sambil tangannya bergerak perlahan, sangat perlahan, mengambil anak panah dan menyiapkan busur panah.

Ada apa ini?

Dalam paniknya, Ell berusaha berpikir cepat. Trenggiling tak akan tertembus panah itu. Dan trenggiling tidak perlu dibunuh. Dia binatang menyeramkan. Bukan menakutkan atau membahayakan. Ells berusaha tetap diam sepanjang dia melihat penculiknya menyiapkan panah.

"Diam..." Airlangga sudah bersiaga menarik tali busur. Wajahnya tegang.

Baiklah...

Aku akan diam seperti batu.

Dia sudah terbiasa dengan perintah itu. Perintah yang menunjukkan bahaya. Ini jauh lebih membahayakan daripada raja hutan. Kemarin dia tidak sampai menyiapkan anak panah. Sekarang dia bersiaga, anak panahnya mengarah ke atas kepala Ells. Ke atas. Bukan ke bawah.

Bukan ke trenggiling!

Perlahan, Ells menggerakkan lehernya, menengadah.

"Sshh! Diamlah.... Jangan melihat ke atas. Menunduk!" Dia terlihat jengkel, berusaha mengembalikan lagi fokus anak panahnya.

Baiklah...

Ells semakin ketakutan. Dia lebih memilih penculiknya mengeluarkan kata-kata yang membuatnya meloncat, bergerak cepat ke arahnya. Karena itu artinya semua baik-baik saja. Ells menatap panik penculiknya yang menarik tali busur panah dengan konsentrasi penuh. Baru kali ini Ells melihat penculiknya seserius ini.. Membuatnya semakin tegang setegang tali busur yang ditarik maksimal.

Melompat, penculiknya berlari secepat kilat ke arahnya. Menarik Ells mendekat ke arahnya, memeluknya, menyembunyikan kepalanya dalam dadanya, sambil mendesis, "Jangan melihat ke atas!" Menariknya menjauh, dia mendorong Ells ke punggungnya lalu bersiap memanah lagi.

Ells semakin ketakutan ketika dia mendengar desis lain ditambah gemerisik hebat yang berasal dari atas pohon. Semakin lama gemerisik itu semakin keras. Penculiknya masih bersiaga meski tetap melindunginya.

Dari sudut matanya, Ells melihat seekor ... ular!

Berwarna kuning dan hitam, meliuk gelisah melepaskan dirinya sendiri dari membelit dahan. Ular sekarat yang tepat di bawah kepalanya tertancap sebuah anak panah, menembus ke sisi lain tubuh sekaratnya. Panah itu yang membuat gerakannya makin tak teratur tak terarah tersangkut-sangkut dahan dan ranting.

.

Wusss...

.

Jleb.

.

Kali ini meleset. Dia bermaksud menahan laju ular, menancapkan ular itu di batang pohon dengan panah. Tapi gerakan acak ular tidak terbaca. Tidak seperti ketka ular itu begitu tenang merayap ke arah tawanannya.

Airlangga tahu ular ini masih hidup, masih membahayakan.

Semua terjadi dalam hitungan sepersekian detik. Ular itu bergerak jatuh, anak panah yang tertancap tetap tersangkut-sangkut di dahan. Lalu, sebelum Airlangga sempat melangkah—menjauh dari bawah ular sekarat yang terus menganga menggeliat saat rohnya terlepas dari raganya—ular itu akhirnya terlepas dari pohon.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang