"KAU mau kita turun sekarang?" Suaranya semakin pelan. "Lepas sedikit tengah hari kita sudah ada di tepi hutan. Rumahmu tak jauh dari sana."
Mengucapkan itu seperti mengucapkan kata perpisahan.
"Apa sedekat itu?"
"Ya."
"Aku senang, Angga. Kita tidak terpisah jauh. Nanti malam, kau tunggulah aku. Aku akan melihatmu melalui jendela kamarku."
"Tentu. Aku akan selalu melihat ke arah rumahmu."
"Kalau kita berjalan lurus apa akan lebih cepat?"
"Tidak. Medannya lebih sulit, apalagi untuk wanita hamil. Kita akan sedikit memutar."
"Baiklah. Tak apa. Yang penting aku bisa melihat dari jendela kamar."
"Tentu."
"Apa rumah ini tegak lurus dari jendela kamarku?"
Angga sedikit mengingat. "Tidak. Rumah ini sedikit ke arah tenggara. Menolehlah sedikit ke kanan."
"Baiklah." Ells tersenyum. Airlangga pun. Tapi senyum itu malah membuat Ells runtuh dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan lelakinya.
"Aku tidak mau pulang, Angga. Aku di sini saja," rengeknya.
"Tidak. Kau harus pulang. Hanya yang terbaik untuk kalian dan itu bukan di sini."
"Yang terbaik untuk istri dan anak adalah bersama suami dan ayahnya."
Lagi-lagi Airlangga tersenyum. "Percayalah, Ells. Kita akan selalu bersama."
Entah kapan, entah di mana, lanjut Airlangga dalam hati.
"Kau janji?"
"Aku berjanji, Ells. Kita akan bertemu lagi. Percayalah." Entah bagaimana caranya dia memenuhi janji itu.
Ells tersenyum tipis dan lemah. "Baiklah."
"Ayo. Kita turun sekarang." Dia membantu Ells berdiri, merapikan kainnya, lalu membiarkan Ells memeluk punggungnya sebelum meluncur turun.
Airlangga sudah memutuskan yang terbaik untuk mereka berdua—Ells dan janin dalam kandungannya—adalah kembali ke pusat peradaban. Meski untuk itu dia harus menukarnya dengan nyawanya.
Ells yang polos. Ells yang naif. Hanya tahu hitam dan putih, tanpa sadar ada pelangi di antaranya.
Airlangga menggendong Ells hampir di sepanjang perjalanan. Menjaga Ells tidak lelah, dan untuk terus dapat merasakan tubuh itu memeluknya. Sepanjang jalan yang sunyi. Tak henti Ells mengecupi punggung Airlangga.
***
Namun, betapa pun Angga berusaha memperlambat langkah, tetap saja tepi hutan yang akan menjadi titik perpisahan mereka terlihat semakin dekat. Hutan semakin terang ketika pohon semakin jarang. Di kejauhan terlihat wilayah terang berpohon jarang. Ladang dan sawah penduduk. Sudah berbulan-bulan Airlangga tidak menyentuh wilayah ini. Hatinya sakit mengingat keluarganya. Entah apa yang terjadi, entah apa yang mereka lakukan sampai dia bisa bertahan selama ini dalam pelariannya. Semoga mereka semua baik-baik saja.
Hatinya sakit mengingat keluarganya, tapi hatinya hancur mengingat Ells. Sebentar lagi mereka berpisah. Dia terus berjalan. Berusaha menabahkan hati meneguhkan tekad, menguatkan langkah. Kakinya terasa goyah menapaki tanah. Dia hanya sedikit mengecoh jejak. Kembali menjadikan anak sungai sebagai perisai.
Di balik pohon sebelum mencapai tepi sungai, dia berhenti.
"Kau harus makan siang, Ells."
"Aku tidak mau makan." Ells tetap meringkuk di punggung Airlangga, tidak mau turun.

KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Roman d'amour[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...