"Hhmm..." Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. "Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?"
"Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu." Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya.
"Kau selalu saja seperti itu," gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. "Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?" lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya.
Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. "Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang." Airlangga ikut tergelak. "Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan."
"Sebentar saja, Ells. Kumohon..."
"Angga, jangan memohon untuk itu."
Bergerak mendorong menjauh, "Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku menyusul." Dia mendesah pasrah. Ells benar, tak sopan jika mereka berlama-lama meninggalkan para tamu. Sudah cukup ulahnya dengan membiarkan Brawijaya berkotor-kotor saat pesta.
Dan dia pun tak ingin jika orang lain melihat wajah kenikmatan terbias di wajah Ells. Kulit putihnya sangat mudah terbaca. Kalau hanya ayahnya yang melihat, Airlangga masih bisa diam, tapi dia tak ingin jika lelaki lain yang melihat itu. Keindahan wajah Ells, hanya untuknya.
Setelah berhasil menjinakkan kej*nt*nannya, dia menyusul Ells keluar. Sepertinya, lebih sulit menjinakkan kej*nt*nannya daripada menjinakkan kuda liar.
***
"Ah, itu dia anakku," ujar van Loen ketika melihat Airlangga menuruni tangga. Dia sedang berbincang dengan relasinya. "Kemarilah, Angga." Airlangga mengangguk, tersenyum, dan bergegas menjumpai van Loen.
"Ya?"
"Angga, bagaimana urusan di selatan?" Dia menepuk bahu Airlangga. "Sudah selesai?"
"Aku sedang berusaha. Mereka menuntut harga yang lebih tinggi."
"Kenapa?" kening mertuanya berkerut. Tidak biasanya Airlangga berlama-lama dalam urusan ini.
"Pedagang Cina berani membayar panen mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada yang Belanda tawarkan."
Van Loen menarik napas, masygul.
Sudah biasa seperti itu. Cina, etnis dengan darah berdagang yang sangat kental, dan mereka sudah lebih dulu mendekat dengan negeri ini. Sejak Laksamana Cengho, Sam Po Kong. Bahkan jauh sebelumnya, benih perniagaan sudah ditanam ras kuning itu.
"Selisihnya sangat jauh." Airlangga menjelaskan. "Aku sudah berusaha menjelaskan bahwa selisih harga itu dipakai untuk membiayai urusan keamanan. Tapi mereka tetap menuntut lebih."
Itu benar.
Saat ini, Airlangga sering menjadi duta bagi van Loen. Dia berada di antara negerinya dan negeri leluhur Ells yang kepentingannya bertolak belakang. Berdiri dengan pijakan yang berbeda di setiap kakinya, Airlangga berhasil menempatkan dirinya untuk selalu berada di tengah-tengah. Seimbang antara kepentingan negerinya dan negeri Belanda. Seperti pesan Paman Tirta untuk membantu mertuanya tapi jangan mengkhianati saudara sebangsanya.
Sebagai duta bagi van Loen, Airlangga membantu mertuanya agar petani mau menjual panennya kepada Belanda. Memang, Belanda sudah menerapkan sistem tanam paksa dihampir semua wilayah kekuasan Hindia Belanda. Saat ini, cultuur stelsel bahkan nyaris sudah mengusai tanah Jawa.
Sebagai seorang koopman, van Loen tentu dituntut untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya uang untuk kas negaranya. Tapi Airlangga berhasil meyakinkan mertuanya untuk tidak terlalu keras pada rakyatnya, sebangsanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Roman d'amour[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...