LEPAS bertemu tim pencari, Udayana bergegas menjumpai Paman Tirta. Lelaki paruh baya itu baru saja sampai dari ladang. Dia sedang sedikit membersihkan diri dan cangkul di sumur. Melihat Udayana datang masih dengan tubuh berkilau keringat, Tirta langsung waspada. Berita apakah gerangan yang pemuda ini bawa? Dia mempercepat gerakannya sambil mata dan lehernya bergerak acak seakan mencari orang yang bersembunyi.
"Ada kabar apa?" tanyanya segera sambil mengeringkan tangan dan duduk di balai-balai di depan rumah.
"Mereka mulai mencari di sisi hutan yang benar." Udayana berbisik. Seperti Tirta, dia pun tidak mau ada telinga lain yang mencuri dengar percakapannya.
"Ya, Tuhan.... Lindungi anakku." Spontan Tirta berdoa. "Apa yang bisa kita lakukan?"
"Aku tidak tahu, Paman." Lelaki muda berkata pada yang tua. "Untuk itulah aku ke sini. Meminta petunjuk pada Paman."
"Pikiranku pun buntu, Nak." Tirta memijit pangkal hidungnya. "Menurutmu, apa yang kira-kira membuat mereka mencari di sana?"
"Maksud, Paman?"
"Kenapa mereka sampai ke sisi itu? Selama ini sisi itu tidak tersentuh."
Sejurus, Udayana berpikir keras sambil matanya memandang lurus ke depan. "Entah mereka menemukan petunjuk atau mereka hanya mencari di tempat lain saja setelah buntu mencari di tempat yang lama."
"Paman harap yang benar jawaban yang kedua."
"Saya pun berharap sama karena di sisi itu jejak Airlangga sangat samar dan semakin saya samarkan. Hanya orang yang sangat terlatih yang bisa menemukan petunjuk dari sisa-sisa perjalanan Airlangga."
"Apa kau yakin?"
"Ini sudah sepekan. Tanpa gangguan dari saya pun jejak itu sudah sulit terlacak."
"Berarti alasan kedua?"
"Semoga. Besok akan kupastikan lagi. Jika mereka mencari ke sana karena mendapat petunjuk, pasti jejak yang mereka buat lebih terarah."
"Kenapa tidak kau hapus saja jejak Airlangga, Nak. Agar mereka tidak bisa membaca sama sekali."
"Menghapus jejak berarti membuat jejak baru. Dan jejak baru ini, jika mereka berhasil membaca bahwa itu upaya menghapus jejak yang lama, mereka akan langsung curiga ada yang membantu si penculik dan itu pasti warga desa. Saat itu terjadi, mereka akan mengobrak-abrik seluruh desa. Tidak hanya desa kita, tapi desa yang lain pun akan mereka hancurkan untuk mencari si pembantu. Aku."
Tirta mendesah, putus asa. "Menurutmu, seberapa pintar mereka membaca jejak?"
"Tidak lebih pintar dari kami, Paman. Buktinya mereka belum menemukan Airlangga."
"Syukurlah kalau begitu."
"Kuharap Airlangga bisa segera menyelesaikan misinya. Entah apa pun itu."
"Tidak bisakah kau membuat jejak pengecoh lain, Nak?" Suaranya nyaris memohon. "Buatlah di sisi yang lain."
"Hhmm..." Udayana berpikir lagi. "Usia jejak akan sangat mudah terbaca.
"Buatlah jejak seakan-akan mereka sudah keluar hutan. Agar mereka terkecoh lalu berhenti mengacak-acak hutan."
"Tapak kakiku pun berbeda dengan Airlangga."
"Berharap saja mereka lupa atau tidak memperhatikan sedetail itu."
"Lalu bagaimana dengan tapak kaki si gadis? Kalau hanya satu jejak lelaki mereka pasti abaikan begitu saja."
"Ajaklah Rindang."
"Kaki gadis itu lebih kecil dan lebih halus dari kaki Rindang. Gadis itu benar-benar tidak pernah bekerja."
"Lakukan saja, Nak. Berharap mereka berpikir gadis itu sudah sangat bekerja keras di hutan sampai bentuk kakinya berubah. Paling tidak gadis itu sudah berjalan sangat-sangat jauh kan?"
"Sendiko, Paman. Akan saya lakukan. Kita akan lakukan apa pun untuk mengecoh mereka." Udayana memberi hormat. "Besok aku akan ke hutan memeriksa, lalu menjemput Rindang untuk membuat jejak pengecoh."
"Berhati-hatilah, Nak. Jangan sampai kalian bertemu orang lain."
"Tentu saya akan usahakan, jika kami sampai berpapasan dengan tim pencari, rencana kita gagal, tapi paling tidak saya akan berdalih sedang mencari kayu bakar atau tanaman obat."
"Semoga mereka belum datang."
"Oh iya, Paman. Tadi saya bertemu Rindang di tepi hutan."
"Bagaimana kabar anak itu?"
"Ini pun masalah penting."
Jantung Tirta mendadak berdetak kencang."Ada apa?"
"Dia bertemu tuan muda itu di hutan dan lelaki itu nyaris melecehkannya."
"Astaga!" Tirta mendelik sempurna. "Tolong kami, Tuhan." Wajahnya memucat. "Apa yang harus Paman lakukan, Nak? Apa Paman jemput saja adikmu kembali ke sini?"
"Sepertinya begitu lebih baik, Paman. Percuma dia di sana jika tuan muda itu bisa menemukannya. Jika di sini, kita bisa langsung menjaga Rindang."
Tirta menarik napas berat.
"Terakhir dia ke sini, lelaki itu mengancam Paman."
"Apa?" seru Udayana terheran sekaligus bertanya.
"Menurut Paman, dia mencurigai sandiwara kita. Intinya, yang Paman rasa, jika Rindang tidak segera menikah, dia akan mengambil anak itu. Dan dari ceritamu, Paman makin yakin, lelaki itu akan melaksanakan niatnya."
"Dia sudah mulai mendekati Rindang, Paman."
"Kukira dia menaruh hati pada gadis yang Airlangga culik."
"Saya pun berpikiran sama."
"Lalu kenapa dia mengganggu anak gadisku?"
Pertanyaan naif dari Tirta itu membuat Udayana terbahak lepas dan keras hingga membuat Tirta berjengit.
"Paman, lelaki muda seperti dia, yang bisa menggenggam dunia, dia akan mengambil semua yang bisa dia ambil. Termasuk gadis itu dan Rindang. Tak ada rotan akar pun jadi. Ketika rotannya ada, akar tetap akan dia simpan untuk kesenangannya yang lain. Bukankah tabiat mereka memang seperti itu?"
"Ah, kau benar." Geram, Tirta sampai menggeretakkan gigi. "Anakku hanya akan menjadi penghibur saja."
"Jadi apa rencana Paman untuk Rindang?"
Tirta menggeleng masygul. "Tak tahulah, Nak. Yang terlintas hanya menikahi Rindang sesegera mungkin. Tapi Airlangga tidak ada, pun ada, dia tegas menolak menikahi adiknya itu."
Sesuatu di ujung lidah terasa begitu mendesak ingin keluar. Namun Udayana berusaha menahannya untuk tetap di dalam rongga mulutnya saja.
Senja berlalu dalam temaran yang sepi. Matahari bergerak makin ke barat, siang pun pergi berganti malam, tapi kesunyian yang sama tidak pernah hilang. Bertahan di sekitar rumah itu sejak kepergian Rindang menyusul Airlangga. Sepi semakin terasa menggigit saat malam benar sudah datang dan seorang lelaki menjelang paruh baya sendiri saja menghitung bintang.
Saat itulah kepingan-kepingan kenangan akan berhamburan keluar dari bilik memori. Kenangan saat rumah itu begitu lengkap. Ada saudara, ada istri, ada ayah, ada kemenakan. Dan ternyata itu sudah berlalu berpuluh tahun lalu. Terasa baru kemarin semua ada di sini, lalu satu per satu pergi hanya karena ulah orang-orang serakah. Tanpa bisa dicegah, hati Tirta terkotori rasa benci yang semakin menggurita saat teringat Rindang pun dalam ancaman.
Dia hanya lelaki biasa. Yang bisa merasakan sakit dan rindu, juga kehilangan. Rasa yang sekarang berkumpul menjadi pemandu sorak untuk marah dan bencinya. Kapan rasa itu hilang? Saat semua urusan ini selesai. Dan kapan urusan ini selesai? Entah kapan. Sepertinya tidak ada titik terang di ujung jalan manakala kondisi mereka makin kacau saja.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Roman d'amour[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...