9, Di Hutan

11 1 0
                                    

SENTUHAN kasar di sepanjang kaki menyusul lengannya membangunkan tidur lelapnya.

Ap—??

Siap—??

"PAPAAAAA...." Ells kembali berteriak. Penculiknya meraba seluruh tubuhnya! Ells sangat ketakutan.

"Diamlah." Airlangga terus meraba tubuh Ells. "Aku hanya membalurkan sesuatu untuk mengusir nyamuk."

Hah?

Ells ingat, tadi sebelum lelap memang denging nyamuk mengganggunya. Tapi lelah membuat dia tak sadar gangguan yang biasanya membuatnya berteriak kencang jika di rumah.

Rumah.

Ells sangat merindukan rumahnya. Ini belum lagi satu hari dia pergi. Malam pun belum mereka lewati.

"Sini! Biar aku saja!" Segera diambilnya sesuatu dari tangan penculiknya.

"Kenapa kau tidak menyuruhku melakukannya sendiri?" Ells menggerutu.

Orang ini ingin mengambil kesempatan!

"Karena aku tidak yakin kau mau memegang itu."

"Kenapa?"

"Bukan kenapa. Tapi apa."

"Apa?" Ells mengulang pertanyaannya sambil membalur tubuhnya dengan apa pun itu.

"Kotoran ayam hutan."

"AARRGGHHH...!!!" Suara marah Ells berbaur dengan suara jijiknya. Dia segera membaui tangannya, memasang ekspresi akan muntah—dia memang merasa mual sekali, mau muntah.

"Kalau sudah selesai, kembalilah tidur." Airlangga berkata santai sambil kembali meyandarkan tubuh.

Dengan jijik Ells mengelap tangannya di mana pun di wilayah hutan yang bisa dijangkaunya. Bergegas ke mata air yang merembes untuk mencuci bersih tangannya.

Tapi apa gunanya? Hampir seluruh tubuhnya sudah berbalur kotoran ayam—yack!

Putus asa, air matanya menetes, dia kembali merangkak ke pohon, pengganti ranjangnya untuk malam ini.

Papa ... temukan segera anakmu ini. Kumohon....

Dia tidak bisa langsung tertidur meski tubuhnya sangat lelah. Airmatanya mengalir turun di sepanjang pipi. Menangisi nasibnya. Dia tidak sanggup hidup seperti ini. Dia merasa terlempar dari peradaban. Hidup di zaman batu bersama manusia Neanderthal dan pithecanthropus. Membayangkannya saja tidak pernah, dan sekarang dia harus mengalaminya langsung.

***

Menggeliatkan tubuh, Ells merasa terganggu dengan sinar yang menerpa wajahnya.

"Bi Imah, tutup jendela itu. Aku masih mau tidur." Tangannya mencari-cari sesuatu. Ke mana bantalku? Kenapa kasur ini keras sekali? Kenapa banyak barang di ranjangku?

Ah, pikirannya masih berkabut.

"Bi! Tutup jendela itu!"

Ugh.

Ke mana Bi Imah?

"Tidak ada jendela, kau harus langsung menutup matahari."

Suara siapa itu?

Ells, yang nyawanya masih terserak di alam mimpi berusaha mengumpulkan serakan itu. Dan ketika dia tersadar, spontan dia duduk dan membuka mata selebar mungkin.

Mata yang harus langsung berhadapan dengan sang empunya suara.

"Siapa kamu?"

"Penculikmu."

"Itu aku tahu."

"Cuma itu yang perlu kau tahu."

Ells menatap tajam wajah keras itu.

Jengah. Benci. Kesal.

Ugh, menyebalkan sekali! Aku ingin mencakar wajah itu!

Ells ingin membantah, tapi hidungnya membaui sesuatu yang menggoda perutnya. Sesuatu sedang dibakar dan baunya begitu menggoda. Wajahnya bergerak mencari sumber bau.

"Sebentar lagi matang, Mata Biru." Airlangga memutar tubuh lalu membalik kelinci yang sedang dia siapkan untuk makan pagi dan makan siang mereka.

Oh, Tuhan. Gadis itu ternyata cantik sekali.

Kulitnya putih, seperti susu kambing. Rambutnya keemasan, seperti rambut jagung. Dan baru saja dia melihat matanya. Biru bercahaya, seperti langit pagi. Mata yang sangat memesona.

Tidak!

Kulit putih, rambut jagung, dan mata biru. Itu sudah cukup untuk mewakili kebenciannya. Dia dan saudara sebangsanyalah yang membunuh kakeknya.

Mengingat kakeknya, dengan mudah Airlangga berhasil mengenyahkan kecantikan gadis itu. Secantik apa pun wajahnya, dia adalah jelmaan iblis.

***

Mereka makan dalam diam. Ells, walau melipat wajah, tetap makan dengan lahap.

Ternyata daging kelinci itu enak, lembut seperti daging ayam. Atau karena aku kelaparan? ujar Ells dalam hati.

Melihat cara Ells makan, Airlangga hanya tersenyum.

Sepertinya aku harus berburu kelinci lagi untuk nanti siang. Tak masalah. Di sini banyak kelinci. Dia pun nanti akan mencoba menu yang lain.

Seekor kelinci, sekarang tinggal berupa kerangka.

Ells sudah mengambil airnya sendiri. Air ini jernih dan sangat segar. Mungkin gelapnya malam membuat air ini terlihat keruh semalam. Dan sampai sekarang perutnya baik-baik saja. Tidak berontak dan mengajak bolak-balik ke belakang. Artinya, air ini bersih meski tidak di masak.

Airlangga membersihkan sisa-sisa tulang kelinci dan arang sisa pembakaran. Merapikan di sudut pohon. Berusaha menyamarkan semuanya dengan meleburnya dengan tanah dan menutupi semuanya dengan daun kering. Tapi perhatiannya teralihkan dengan gerakan aneh tawanannya.

Kenapa dia?

"Hey! Aku harus ke belakang!" bentak si tuan putri.

Oh.

Dia mengerti, tapi dia memilih menoleh ke belakangnya dan melongok ke belakang gadis itu.

"Ada apa di belakang? Kenapa kau mau ke sana? Tapi tak masalah. Silakan saja. Terserah kau mau ke belakangku atai belakangmu." Airlangga mengedikkan bahu, abai, tapi dia terkekeh dalam hati.

"Cepatlah! Aku sudah tidak tahan." Ells semakin bergerak gelisah. Tangannya memegang selangkangannya, kakinya bergerak-gerak lucu. Hajatnya sudah sangat di ujung.

"Tak harus ke belakang. Kau boleh melakukannya di samping atau di depan. Di situ pun boleh." Airlangga menjawab santai. Jawaban yang dibalas belalakan mata oleh Ells.

Merasa tidak ada gunanya membantah, dan hajatnya sudah di ujung tanduk, Ells berbalik, mencari pohon lain. Tergesa mengangkat gaunnya lalu berjongkok.

Ahh....

Lega.

Rasa lega yang hanya sesaat dia rasakan.

"Hey! Aku butuh air!"

Bagaimana caranya dia memberikan air tanpa melihatnya?

Tapi tak lama, sebuah tangan memegang pincuk muncul dari balik pohon. Hanya tangan saja!

"Kurang!"

"Kau mau mandi?" Tapi tak lama tangan itu muncul kembali. "Itu yang terakhir."

Baiklah. Itu sudah cukup.

***

Bersambung

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang