DI tepi hutan, Airlangga terus menatap Ells yang semakin menjauh. Sampai Ells menghilang dari pandangannya, dia terus berdiri. Menunggu sampai waktu yang rasanya cukup untuk Ells sampai ke rumahnya.
Di tepi hutan itu, dia benar-benar merasakan rasanya patah hati. Ya, patah hati. Bukan sakit hati. Ells tidak menyakitinya, tapi cinta ini membuatnya patah. Ah, Ells memang tidak menyakitinya, tapi cinta ini yang membuatnya sakit. Ells membuatnya patah hati ketika cinta itu tak tergapai tangannya. Kenapa bisa semua terbalik seperti ini?
Tapi, ah, dunia memang sering terbalik-balik. Semua bisa tiba-tiba berbalik arah dari membelakangimu menjadi menyerangmu. Ells yang dulu sangat dia benci, representasi mutlak dari kebenciannya pada penguasa yang membunuh orangtua dan kakeknya, sekarang malah menjai orang yang paling dia sayang. Dia yang dulu sesumbar akan membalas dendam malah terjebak cinta. Dia yang dulu jumawa dengan kekuatan tubuhnya sekarang begitu tak berdaya.
Semua benar-benar berbalik menyerangnya dan dia tidak siap dengan konsekuensinya.
Kehilangan Ells.
Bersandar di pokok akasia, mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan selaput air yang menghalangi pandangannya, Airlangga tetap berdiri, sampai malam menjelang. Dia kehilangan arah. Tidak tahu harus ke mana. Kata pulang menjadi tak bermakna. Pulang ke rumah pohon? Tidak ada Ells di sana. Pulang ke rumah kakeknya di desa? Hanya akan membuat keributan yang baru.
Kali ini, dia hanya ingin meratapi nasib merasakan kehilangan yang lain.
Kehilangan. Aku sudah terlalu sering merasakan kehilangan. Sudah terlalu akrab dengan kata itu. Separuh hatiku pergi. Meninggalkan aku yang sudah tak utuh lagi. Pulang hanya berkawan sepi. Aku sungguh tak ingin sendiri.
***
Di tempat lain, Ells masih berdiri terpaku di depan pintu. Dia seperti akan memasuki dunia yang lain yang tidak dia kenal. Dia merasa asing dengan rumah ini. Ini bukan rumahnya. Dulu dia bebas keluar masuk ke mana pun. Sekarang, haruskah dia mengetuk pintu seperti tamu?
Merasa sangat tak nyaman, tangannya terulur ke daun pintu dan mengetuk pelan.
.
Tok tok tok
.
"Kom binnen."
Ells membuka pintu itu, perlahan, mengumpulkan semua keberaniannya. Di sanalah papanya berdiri. Masih sosok yang sama tapi terlihat begitu tua. Rambutnya menjadi terlalu kelabu tanpa warna lain. Bahunya melorot, punggungnya membungkuk. Ells berjengit melihat papanya.
"Papa..." ujar Ells setengah berbisik. Bisik rindu seorang gadis pada cinta pertamanya. Cinta yang tidak akan melukainya. Cinta yang tidak akan membuatnya patah hati.
Tubuh van Loen—yang sedang berdiri bersandar di ambang jendela menatap ke luar, ke arah hutan—tegang.
Aku seperti mendengar suara Ells. Ah, itu pasti halusinasi. Aku terlalu merindukan anakku. Tubuhnya kembali melentur melemah sambil tetap menatap ke arah hutan.
"Papa..." Ells berjalan pelan ke arah papanya. "Ini Ells, Papa..."
Walau merasa bermimpi dan berhalusinasi, van Loen menoleh. Ketika melihat Ells berjalan perlahan, dia terperangah. Sigap berdiri tegak. Berusaha meyakinkan diri sendiri dia tidak bermimpi.
"Ells...?" Dia bertanya meyakinkan dirinya sendiri. Dia bahkan berkerjap-kerjap lalu menggosok matanya.
Ah, aku benar-benar sudah gila. Tidak cuma pikiranku, sekarang mata dan telingaku pun tidak bisa dipercaya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...