Hening.
Mereka lebih banyak diam.
Ubi jalar dan talas sudah habis menjadi makan malam mereka. Angin yang berembus bersiap mengantarkan hujan. Airlangga berjalan tertatih ke luar goa, berusaha mengumpulkan kayu bakar lebih banyak. Ells mengikut saja. Dia ikut mencari dan memilih ranting yang cukup kering. Mereka tidak bisa terlalu jauh. Terlalu gelap dan Airlangga pun tak kuat berjalan jauh.
Setelah tidak ada lagi yang bisa mereka kumpulkan, mereka kembali ke goa. Dan kembali diam tanpa kata. Hanya duduk memperhatikan api yang menari yang menjadi pemisah mereka. Tak ada lagi yang bisa mereka kerjakan. Tak lagi membakar makanan, api itu benar-benar hanya membakar kayu saja.
Kecanggungan menjadi dinding pemisah di antara mereka. Ini lebih aneh daripada ketika mereka belum saling mengenal. Ketika hanya kebencian dan amarah yang memenuhi rongga dada mereka. Keduanya merasa canggung berdua seperti ini. Saat ini, saat kebencian itu mencair, kedekatan dari rasa ingin melindungi menguat, mereka malah berjarak. Sunyi malam dan diam tanpa cakap membuat dingin makin terasa beku.
Tidak ada lagi gumam gerutu dari Ells. Gadis itu begitu tenang dan tabah. Malah dia selalu menguatkan Airlangga. Tidak ada lagi suara mengintimidasi dari Airlangga. Dia malah berusaha menenangkan gadis itu. Semua menjadi terbalik. Tiba-tiba saja terjadi membuat mereka merasa aneh dan canggung.
Untuk mengusir jengah, Airlangga hanya mengacak-acak api unggun saja. Dia menjaga api tetap menyala walau kecil. Cuaca memang dingin, tapi bahan bakar yang tersedia harus dihemat. Dia mengatur kayu-kayu yang agak lembab di sekeliling api agar kayu itu lebih cepat kering. Tidak ada yang bisa Ells kerjakan. Dia hanya menonton Airlangga saja. Hujan pun datang. Semakin lama semakin deras. Tirai air menutup rapat mulut goa.
Suara hujan di luar menjadi latar keheningan ini. Jika tadi hanya hening saat ini suasana menjadi hening dan tegang. Ells terus menatap cemas ke arah pintu goa.
Kembali, Ells berdoa agar hujan sendirian saja mengunjungi bumi. Tak usah mengajak sahabatnya, halilintar dan guruh.
Semakin deras, Ells semakin meringkuk. Dia sudah meletakkan kepalanya di antara lututnya. Airlangga berjaga-jaga.
"HAAOOOUUUMMMM..."
"Aaahhh..."
Walau hujan datang sendirian tanpa ditemani petir dan halilintar, tetap saja dia melompat ke Airlangga ketika suara itu berteriak kencang tanpa basa-basi. Suaranya begitu dekat.
"Angga, apa dia akan ke sini?" Ells bertanya, meringkuk di dada Angga. Ini lebih menakutkan daripada halilintar dan guruh.
Sungguh!
Perlahan, tangan Airlangga naik mengelus punggung Ells, menenangkannya. "Ells, gua ini menghadap ke timur. Besok pagi, kau berjalan lurus dari depan gua. Dan kau akan menemukan sungai yang sudah kujelaskan waktu itu. Kau masih ingat?" Ells makin meringkuk.
"Tapi untuk apa, Angga? Kau sudah sehat. Kau berhasil bertahan."
"Pulanglah ke rumahmu. Itu tidak terlalu jauh. Tapi tunggulah sampai ada matahari. Aku takut kau tersasar jika berjalan tanpa cahaya."
"Bagaimana dengan kau, Angga?"
Airlangga diam, tak menjawab hanya menarik napas berat. Detik-detik yang mencekam. Ells semakin mengeratkan pelukannya. Terlalu takut harus berada dalam ruang yang sama dengan raja rimba.
Suara auman terdengar lagi. Kali ini terasa semakin dekat. Ells mulai terisak.
"Ells, binatang tidak seperti manusia, mereka hanya berburu sesuai kebutuhannya saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...