AIRLANGGA memutuskan mandi ketika Ells keluar menemui van Loen. Dia menemukan Ells yang duduk gelisah di sudut ranjang ketika keluar dari kamar mandi. Sebuah kotak berukuran besar terlihat di sampingnya.
"Ells? Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil berlutut di hadapan Ells. "Kenapa wajahmu seperti itu?"
Diam.
Hanya saling menatap.
Sepasang mata khawatir bertemu sepasang mata penasaran. Ingin tahu kenapa masih ada kilau khawatir di mata biru itu.
"Ells?"
Sunyi.
"Angga, Papa menanyakan kabarmu. Kesehatanmu."
"Terima kasih. Aku baik. Sudah sehat. Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal di sini bahkan merawatku dengan sangat baik melalui kau, Bi Imah, perawat, dan Dokter Karel."
Diam.
"Jika kau sudah sehat, sudah kuat, Papa mengajakmu makan pagi bersama."
Oh, itukah arti kilau itu?
"Sekarang?"
"Iya, Angga. Apa kau bersedia?"
"Tak masalah. Tapi aku tidak akan sempat pulang untuk mengambil pakaian yang lebih layak." Airlangga mengedikkan bahu sambil berdiri merujuk pada piyama yang Ells sediakan yang selama di rumah ini selalu dia pakai. Dia duduk di samping Ells.
"Kau mau, Angga?" Ells terbelalak, tak menyangka semudah itu semua berlaku buat Airlangga.
"Tentu saja aku mau." Airlangga tertawa lepas. "Tak masalah. Lagi pula, sampai kapan aku mengurung diri di kamar? Aku sudah sehat. Sisa luka ini tidak mengganggu lagi. Kau saja yang terlalu berlebihan."
Ells bergerak menjatuhkan tubuh ke pelukan Airlangga. Tertawa dan menangis. Airlangga tak tahu apa arti gelak dan tangis itu.
"Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu, Sayang." Ells bergerak bangun.
"Kuharap pakaian itu lebih bagus dan layak pakai daripada piyama ini." Airlangga terbahak. "Sangat tidak sopan menjumpai Meneer van Loen dengan piyama."
"Tentu." Ells menepuk kotak di sampingnya lalu mengambil setumpuk pakaian yang sudah dia siapkan dari dalam kotak itu. Lengkap termasuk sepatu. Gerak tubuhnya menunjukkan kerikuhan.
Dia ragu apa Airlangga mau memakai pakaian ini? Apa Airlangga tidak akan terganggu dengan pakaian ini? Tapi dia tidak berani mengutarakan itu semua langsung pada Airlangga.
Tersenyum, Airlangga mengambil pakaian itu.
"Kau sudah mandi, Angga?"
"Sudah." Airlangga tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ells. Ells langsung menghidu di lekuk leher Airlangga. Harum. Tapi bukan aroama favoritnya. Dia suka harum cemara dan pinus yang akan menguat ketika berpadu dengan aroma asli tubuh lelakinya.
"Mari kubantu kau berpakaian." Ells segera tersadar ketika Airlangga mengambil pakaian itu dari tangannya.
"Tentu aku senang sekali. Seumur hidup, aku tidak pernah dibantu untuk memakai pakaian." Airlangga tersenyum kecil melihat kegugupan Ells. "Walau aku yakin aku sudah bisa berpakaian sendiri," Airlangga menggerak-gerakkan lengannya yang dulu mati rasa, "tapi aku tetap tidak akan menolak tawaranmu."
.
Tok tok tok
.
Suara ketukan di pintu mengganggu kebersamaan mereka.
"Non, eh, Nyonya, dipanggil Tuan," ujar Bi Imah ketika masuk dan langsung pergi ketika melihat Ells mengangguk mengerti.
"Aku ke Papa sebentar. Nanti aku akan membantumu. Tunggulah," ujarnya sambil mengecup sekilas bibir Airlangga.

KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...